Rabu, 11 Juni 2008

KAPAN KESADARAN ITU DATANG?

Menjadikan sektor pendidikan sebagai ‘panglima’. Kalimat itu yang sering kita dengar saat tokoh-tokoh berbicara, baik itu tokoh pendidikan yang terlihat ‘greget’ sambil menampakkan raut setengah frustasinya karena kecewa terhadap realita yang ada, atau tokoh politik yang berkomentar tentang pendidikan dengan wajah pamrih agar mendapat simpati dari komunitas pendidikan saat datang pemilu nanti. Begitu juga, tulisan atau artikel yang ditulis oleh berbagai kalangan dari guru kecil sampai guru besar, dari masyarakat kecil sampai tokoh pembesar negeri ini dan dimuat oleh berbagai media, dari media kecil atau media besar, lokal ataupun berskala nasional sudah banyak sekali yang merekomendasikan pemerintah untuk segera ‘menjadikan pendidikan sebagai panglima’.

Istilah panglima secara sederhana dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah pasukan perang. Jika pembangunan yang sedang dilaksanakan saat ini dianalogikan sebagai medan perang, maka disitu pendidikan harus ditempatkan sebagai panglima Dengan kata lain pendidikan harus menjadi prioritas utama dan pertama dari sekian prioritas yang menjadi target pembangunan. Pertanyaannya sudahkah pendidikan menjadi panglima? Jika belum , sampai kapan kita bisa menunggu?

Setelah sepuluh tahun bergelut dalam dunia pendidikan, berinteraksi dengan berbagai komunitas pendidikan seperti siswa, guru orangtua siswa, birokrat pendidikan dan tokoh-tokoh pendidikan, penulis mencatat hal-hal yang kiranya relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Diantaranya adalah begitu rendahnya tingkat kesadaran para pelaku pendidikan itu sendiri, rendahnya kesadaran dari pemerintah dan rendahnya kesadaran dari masyarakat. Padahal, menurut hemat penulis, ketiga unsur yang disebutkan tadi merupakan pilar utama yang bisa menentukan baik buruknya mutu pendidikan di Tanah Air.

Kesadaran Pelaku Pendidikan

Dalam setiap proses pendidikan baik formal maupun nonformal, unsur pembelajaran tentulah menjadi bagian yang amat penting. Dalam prakteknya, pembelajaran selalu melibatkan siswa yang diajar dan guru yang mengajar. Seorang siswa tentu saja memiliki orangtua ataupun walinya dan sebagai guru tentu memiliki pimpinan di sekolahnya. Kerap sekali kita temukan fakta bahwa berbagai unsur atau pihak-pihak yang disebutkan tadi memiliki tingkat kesadaran yang masih rendah akan pentingnya makna pendidikan. Seorang siswa sering mereduksi arti pendidikan hanya sebatas pergi ke sekolah setiap hari, mengerjakan tugas yang diberikan guru dan akhirnya bisa lulus dengan mendapat nilai yang alakadarnya. Seorang guru juga mereduksi arti pendidikan hanya sebatas mengajar siswa setiap hari dan memberikan nilai pada siswanya tanpa harus berpikir apakah ia sudah mengajar dengan baik dan benar? Apakah sebagai guru ia sudah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan siswanya di masa yang akan datang?Kerap pula kita dengar tentang pimpinan sekolah atau lembaga pendidikan yang justru menjadi penghambat proses peningkatan mutu pendidikan. Bahkan menurut seorang tokoh pendidikan, ada seorang guru dan seorang guru besar yang justru bertindak kontra terhadap kebijakan yang berpihak pada pendidikan.

Pun, dengan orangtua siswa yang tak mau ketinggalan dengan mereduksi arti pendidikan sebatas menitipkan anaknya ke pihak sekolah, membayar biaya sesuai aturan dan hanya berharap anaknya bisa lulus dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa pernah berfikir bahwa mendidik anak adalah hal yang penting tidak saja bagi si anak tapi juga bagi proses kemajuan masyarakat secara luas. Orangtua tidak boleh berpikir mendidik atau menyekolahkan anak semata-mata hanya kebiasaan karena masyarakat umum yang menginginkan anaknya sukses memang melakukan hal itu. Dari paparan tadi tergambarkan begitu dangkalnya kesadaran para pelaku pendidikan akan arti penting pendidikan itu sendiri. Bukankah ini sebah ironi?

Kesadaran Pemerintah

Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan, seyogyanya menjadi mesin penggerak utama kemajuan pendidikan. Realitanya, alih-alih menjadi mesin penggerak, melaksanakan kebijakan atau aturan yang dibuatnya sendiri saja sangat berat jika itu menyangkut persoalan pendidikan. Baru saja merasakan semilir angin surga dengan dimasukkannya pasal dalam Undang-Undang Dasar bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20% dalam APBN/APBD, masyarakat dikagetkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan anggaran 20% itu harus memasukan ‘item’ gaji guru.

Intinya, keluarnya putusan MK tersebut mengurangi porsi anggaran pendidikan sebesar kira-kira 8%. Meski dengan perhitungan itupun, tetap saja pemerintah baru bisa mengalokasikan 18% anggaran untuk pendidikan. Entah apa yang dipikirkan pemerintah, bukannya memanfaatkan para ahli untuk mencari jalan keluar yang kreatif agar bisa memenuhi amanat Undang-Undang Dasar yang menganggarkan 20% sektor pendidikan, tapi malah berkompromi mengeluarkan kebijakan yang justru kontra terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Mungkin mereka merasa rugi menggelontorkan anggaran sebesar 20% itu meski itu sebenarnya uang rakyat dan bukan uang pribadi mereka.

Sudah seharusnya hak itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan pendidikan murah dan berkualitas. Sudah seharusnya para pembuat kebijakan itu sadar, memajukan pendidikan berarti memajukan kualitas sumber daya manusia. Memajukan pendidikan berarti membangun peradaban dan anak cucunya nanti yang akan merasakan seperti apa peradaban masyarakat kita nanti, itu sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan yang mereka ambil saat ini. Mengapa begitu sulit menggelontorkan anggaran yang hanya 20% itu, bukankah masih ada 80% alokasi anggaran untuk dibagikan pada sektor-sektor yang lain?

Kesadaran Masyarakat

Jika masyarakat itu diartikan sebagai orang kebanyakan, individu-individu yang berbeda yang memiliki pandangan dan karakteristik berbeda pula, maka ini menjadi kelompok terbesar yang menghuni Indonesia. Artinya, jika masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi kemajuan bangsanya, maka tak akan kita dengar berita tentang sekolah roboh, guru yang terpaksa ngojek, atau anak usia sekolah yang terpaksa mengamen di lampu-lampu merah. Pernahkan terpikir dibenak kita jika separuh saja dari jumlah penduduk Indonesia yang memberikan uangnya sebesar Rp 1000,- dan itu diperuntukkan bagi pendidikan, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 100 milyar. Sebuah nilai yang begitu bermakna jika dikelola benar-benar untuk peningktan mutu pendidikan.

Namun, berharap seperti itu seolah kita bermimpi, karena penulis pernah mendengar keluhan seorang teman yang mengatakan betapa sulitnya memasarkan media yang khusus berisi informasi tentang pendidikan. Begitu banyak kendala yang dihadapi ketika ingin mengajak para birokrat untuk bekerjasama mengembangkan idealisme dunia pendidikan, sedikit sekali guru yang berminat membeli, dapat dihitung dengan jari pejabat yang memberikan apresiasi dan sebagian besar masyarakat lebih suka membeli media yang berisi gosip atau yang memamerkan kemolekan tubuh wanita ketimbang membeli media pendidikan. Bukankah ini sebuah indikasi bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah ? Wallahu’alam.Wawan Kurniawan

Penulis adalah seorang guru, tinggal di Bogor.

Penemu Biochip Kedokteran


Ilmu pengetahuan mampu menjelaskan hal-hal yang semula dianggap tak mungkin menjadi mungkin. Melalui ilmu pengetahuan pula Joko Sasmito berhasil menciptakan biochip, yang dalam perkembangannya sangat bermanfaat bagi dunia kedokteran. Semua berawal dari Siklus Kaifa.

Sejumlah produk teknologi yang bermanfaat untuk kesehatan telah dibuatnya bersama kelima anaknya. Alat-alat ini antara lain pengetes gelombang otak, pengetes emosi diri, pengetes penyakit kanker getah bening dan kanker hati, magnetic resonance imaging (MRI), alat pemeriksa saraf, otot, dan jantung, serta modem.

Produk yang disebut terakhir ini belakangan direncanakan untuk diproduksi dalam jumlah lebih banyak. Produk ini sendiri merupakan hasil penelitian selama delapan tahun oleh keluarga Joko bersama sejumlah tetangga yang tergabung dalam santri Isiteks (Islam Teknologi dan Seni) di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penemuan-penemuan teknologi di bidang kedokteran ini sebenarnya bukanlah tujuan awal Joko. Mantan Dosen Kimia di Universitas Gadjah Mada ini bersama sejumlah santri semula bermaksud menciptakan alat-alat elektronik mini yang dapat menghemat ruang.

Dalam perkembangan kegiatan penelitiannya, Joko malah lebih dulu berhasil menciptakan biochip sebagai alat pengetes kesehatan tubuh, yang sangat bermanfaat di bidang kedokteran, serta biochip sebagai alat terapi.

Biochip adalah benda organik sebagai materi inti. Ramuan dari sari hewan dan tumbuhan ini diracik hingga menjadi hanya seberat kurang dari satu gram, lalu dilekatkan pada lempengan kecil kawat, dan disambungkan oleh media penghantar berupa lembaran-lembaran kabel. Alat ini berbeda dengan biochip-biochip lain yang, meski juga dibuat sebagai hasil teknologi, bahan utamanya dari anorganik.

Pada setiap kegiatan pengecekan dan terapi kesehatan terhadap pasien-pasiennya, Joko mentransfer materi inti pengobatan ini lewat gelombang (udara maupun listrik), disalurkan ke tubuh penderita.

Hantaran energi melalui gelombang ini pada tahap berikutnya, memampukan Joko mengobati pasien secara jarak jauh. Dengan menggunakan telepon biasa ataupun seluler, pengobatan yang berpusat dalam sistem komputer di rumahnya akan dihantar masuk ke pasien melalui gelombang.

”Saya berpikir bahwa ilmu dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. Dan, bentuk pengobatan ini sangat dapat dijelaskan secara ilmiah,” tuturnya.

Empat dalil
Kita mungkin akan tak percaya bagaimana terapi biochip yang ditransfer lewat gelombang bisa menyembuhkan seseorang. Namun, Joko dapat menjelaskan secara ilmiah atas setiap produk temuannya. Teori Siklus Kaifa menjadi dasar untuk setiap penemuan ini. Siklus ini mengacu pada salah satu ayat dalam sebuah surat di Al Quran. Ayat ini diterjemahkan menjadi empat dalil, yaitu adaptasi, filter, kecocokan, dan nilai integrasi. Setiap uji coba yang dilakukannya melalui empat dalil tersebut dan akhirnya menghasilkan karya chip non-bio. Namun, dalam perkembangannya, dia mengkreasikan chip dengan racikan bahan-bahan organik.

Tujuan Joko adalah supaya racikan bahan biochip ini tidak dapat ditiru tanpa harus dipatenkan. Kelebihan biochip ini adalah memiliki kepekaan lebih tinggi dalam mendeteksi suatu penyakit.

Joko mendidik lima anaknya untuk menjadi peneliti sekaligus penemu di bidang iptek meski mereka harus keluar dari sekolah formal. Ida Saraswati (23), anak pertama, kini telah membuat banyak perangkat lunak atau software dan Dika Sistrandari (21), Agus Siklawida (16) serta Tifa Siklawati (11) sebagai pembuat komponen data atau hardware. Adapun kemampuan membuat biochip diturunkan kepada anak ketiganya, Sikla Estiningsih (19).

Menurut Joko, merupakan pergumulan besar saat harus memberi pilihan bagi anak-anaknya untuk bersekolah formal atau belajar padanya. Saat anak-anak ini memutuskan untuk belajar pada Joko dan keluar dari sekolah masing-masing, tumbuh kesadaran akan konsekuensi bahwa kelimanya takkan memiliki ijazah pendidikan. ”Memang ada konsekuensi atas setiap pilihan,” tutur Sikla, anak ketiga.

Saat Kompas berkunjung kedua kalinya, sekira pertengahan bulan Januari, Joko tengah sibuk mengurusi salah seorang pasiennya yang sakit kritis. Hasil identifikasi biochip yang terpampang lewat komputer menunjukkan pasien tersebut mengidap penyakit kanker hati.

Komputer lainnya dipakai mendeteksi gerak jantung yang melambat, juga melalui biochip. Lalu, sebuah biochip lagi dipasang untuk menurunkan tingkat entropi (kerentaan fungsi organ). ”Kalau sudah kondisi darurat, kami harus gerak cepat menolong pasien,” tuturnya. (Irma Tambunan, Kompas, 27 Januari 2006)

Bapak Ilmu Pengetahuan

Ahli filsafat terbesar di dunia sepanjang zaman, bapak peradaban Barat, bapak ensiklopedi, bapak ilmu pengetahuan, atau guru(nya) para ilmuwan adalah berbagai julukan yang diberikan pada ilmuan ini. Berbagai temuannya seperti logika yang disebut juga dengan ilmu mantik yaitu pengetahuan tentang cara berpikir dengan baik, benar, dan sehat, membuat namanya begitu dikenal oleh setiap orang di seluruh dunia yang pernah mengecap pendidikan.
Begitu juga dengan biologi, fisika, botani, astronomi, kimia, meteorologi, anatomi, zoologi, embriologi, dan psikologi eksperimental merupakan temuannya juga. Penemuan-penemuan yang
Sudah 2.000 tahun lebih, namun istilah-istilah yang dipakainya pada berbagai ciptaan atau temuannya masih dipakai sampai sekarang, seperi: informasi, relasi, energi, kuantitas, kualitas, individu, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Disamping itu, ia juga seorang pengarang yang telah menghasilkan lebih dari 50 buah buku yang semuanya dilengkapi dengan uraian yang sistematis, jelas, dan dalam.

Pria yang lahir di Stagirus, Macedonia, pada tahun 384 sM, inilah orang pertama di dunia yang dapat membuktikan bahwa bumi bulat. Pembuktian yang dilakukannya dengan jalan melihat gerhana.

Sepuluh jenis kata seperti yang dikenal orang saat ini seperti; kata kerja, kata benda, kata sifat, dan sebagainya merupakan pembagian kata hasil pemikirannya. Dia jugalah yang mengatakan bahwa “manusia adalah makhluk sosial”, bahwa “tiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya”, bahwa “kunci pengetahuan adalah logika”, dan “dasar pengetahuan adalah fakta”.

Aristoteles adalah ilmuan yang religius. Ia sangat percaya akan kuasa Tuhan. “Semua yang bergerak di alam semesta ini bergerak menuju Tuhan” katanya. Maka, “orang yang ingin bahagia harus berbuat baik sebanyak-banyaknya”, katanya lagi.

Ayahnya yang bernama Nicomachus, seorang dokter di istana Amyntas III, raja Macedonia, kakek Alexander Agung, meninggal ketika Aristoteles berusia 15 tahun. Karenanya, ia kemudian dipelihara oleh Proxenus, pamannya- saudara dari ayahnya. Pada usia 17 tahun ia masuk akademi milik Plato di Athena. Dari situlah ia kemudian menjadi murid Plato selama 20 tahun.

Dengan meninggalnya Plato pada tahun 347 sM, Aristoteles meninggalkan Athena dan mengembara selama 12 tahun. Dalam jenjang waktu itu ia mendirikan akademi di Assus, dan menikah dengan Pythias yang tak lama
kemudian meninggal. Ia lalu menikah lagi dengan Herpyllis yang kemudian melahirkan baginya seorang anak laki-laki yang ia beri nama Nicomachus, seperti nama ayahnya. Pada tahun-tahun berikutnya ia juga mendirikan akademi di Mytilene. Saat itulah ia sempat jadi guru Alexander Agung selama 3 tahun.
Di Lyceum, Athena pada tahun 335 sM, ia juga mendirikan semacam akademi. Di sinilah ia selama 12 tahun memberikan kuliah, berpikir, mengadakan riset dan eksperimen, serta membuat catatan-catatan dengan tekun dan cermat.

Pada tahun 323 sM Alexander Agung meninggal. Karena takut dibunuh orang Yunani yang membenci pengikut Alexander, Aristoteles akhirnya melarikan diri ke Chalcis. Tapi ajal memang tak mengenal tempat. Mau bersembunyi kemanapun, kalau ajal sudah tiba tidak ada yang bisa menolak. Demikian juga dengan tokoh ini, satu tahun setelah pelariannya ke kota itu, yaitu tepatnya pada tahun 322 sM, pada usia 62 tahun ia meninggal juga di kota tersebut, Chalcis, Yunani
Sumber : Ensklopedi tokoh indonesia.com

Pengangguran Terdidik (SIKAP)

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja melansir jumlah pengangguran di Indonesia yang mencapai pada kisaran 100 juta orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta jiwa, menunjukkan besaran angka pengangguran tersebut hampir 50%. Sungguh apabila angka tersebut faktual, maka kita patut sangat prihatin. Pengangguran tersebut akan terus bertambah, apabila perubahan perekonomian nasional tidak bisa dilakukan. Bahkan, bisa saja jumlah pengangguran akan meningkat, jika banyak industri melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara jumlah lulusan Perguruan Tinggi (PT) mencapai 700.000 orang setiap tahun.

Beban masyarakat tentu akan semakin berat pada saat terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diputuskan sebesar 28,7%. Walaupun akan ada perlakuan khusus untuk pengendara sepeda motor dan angkutan umum, tetapi efek samping kenaikan tersebut tidak bisa dihindarkan. Dengan jumlah pengangguran yang melambung tinggi, produktivitas masyarakat tentu akan menjadi rendah. Pun, daya beli masyarakat akan semakin menurun, apalagi kenaikan harga kebutuhan sehari-hari ikut-ikutan naik.
Kita tentunya tidak mengharapkan tingginya angka pengangguran akan memicu konflik sosial. Ancaman konflik sosial bisa saja terjadi, manakala tekanan terhadap kehidupan seseorang semakin berat. Rasa frustasi akan sangat mudah memancing emosi masyarakat. Ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, bisa menimbulkan anarkisme. Sementara itu, dipastikan akibat desakan kebutuhan ekonomi, banyak penganggur kemudian melakukan tindakan kriminal. Pemerintah memang memiliki program kompensasi atas kenaikan harga BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun, tentu saja BLT ini bersifat sementara. Bahkan, dicurigai BLT memiliki motif politik. Pun, dinilai BLT malah memperkeruh suasana, karena terjadi kekisruhan dalam pembagiannya. Tidak mengherankan, banyak Pemerintah Daerah bahkan kepala desa menolak kebijakan BLT ini.

Pemerintah memang harus mencari solusi yang lebih komprehensif untuk mengatasi krisis perekonomian pada saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengungkapkan, beberapa tahun ini pertumbuhan ekonomi mencapai 6% pertahun. Dengan demikian telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian. Jika benar pertumbuhan ekonomi sebesar 6% diperkirakan sekitar 1,8 juta tenaga kerja yang bisa diserap setiap tahunnya. Yang menjadi persoalan, dibandingkan RRC dan Vietnam, konsentrasi pemerintah dalam pembangunan sektor perekonomian lebih dititikberatkan pada sektor minyak dan gas. Selain itu, pada industri-industri padat modal—menggunakan teknologi tinggi. Sehingga, hanya berdampak kecil terhadap daya serap tenaga kerja. Seharusnya, pemerintah secara konsisten mendorong sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan industri-industri yang mampu menyerap tenaga kerja besar.
Kebijakan di sektor perekonomian ini, berlawanan arus dengan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pada saat ini Depdiknas tengah memacu pertumbuhan dan peningkatan kualitas sekolah-sekolah kejuruan (SMK). Ditargetkan perbandingan pertumbuhannya menjadi berbanding terbalik 70% SMK : 30% SMA. Sekolah kejuruan dimaksudkan untuk mendorong tersedianya tenaga kerja yang memiliki keterampilan tertentu terhadap mereka yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada sisi lain, tidak banyak pula perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki konsern terhadap kemandirian lulusannya. Hanya sedikit perguruan tinggi yang memiliki misi merangsang lulusannya untuk menjadi enterpreneur-enterpreneur muda, sehingga tidak tergantung kepada peluang kerja pada korporasi-korporasi yang ada.

Kompleksitas persoalan makro dan mikro ekonomi Indonesia ini, harusnya menjadi konsern pula Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Bukankah kita memiliki para ahli di banyak bidang yang ”bercokol” di PT? Akan lebih baik jika pemerintah mau mengajak mereka untuk mencari solusi pagi persoalan Negara? Sumbangsih para ilmuwan pada saat ini sangat dibutuhkan. Tentunya, hal tersebut dibutuhkan kerendahan hati, ketulusan hati, dan membuang jauh-jauh interes politik masih-masing pihak. Sebab, kita tidak bisa membiarkan tenaga kerja terdidik tersebut menjadi pengangguran abadi. Dan, patut diingat, tekanan perekonomian—sudah ”mencekik leher sebagian besar masyarakat.” Tunggu apalagi...

Nirbaya,Catatan Harian Mochtar Lubis

Pemandangan agak berbeda di Bentara Budaya, Palmerah Jakarta Barat Rabu (7/5) lalu. Tepat pukul 13.00 sampai 15.00 WIB diadakan launching buku berjudul Nirbaya, yang berisi catatan harian Mochtar Lubis. Buku yang diluncurkan tersebut merupakan terbitan Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Studi Pembangunan Pers (LSPP).

Hadir Jakob Oetama (Pemimpin Yayasan Obor Indonesia dan Pemimpin Umum Harian Kompas), Adnan Buyung Nasution (Avokat dan rekan Mochtar Lubis), Masmiar Mangiang (dosen FISIP UI), dan Ignatius Haryanto (Direktur Eksekutif LSPP dan direktur Program Mochtar Lubis Award) yang hadir sebagai pembicara dalam launching buku tersebut.

Nirbaya merupakan sejarah buku yang panjang. Buku tersebut ditulis pada tahun 1975, lalu naskah tersebut pertamakali diterbitkan dalam bahasa Belanda pada 4 tahun silam. Dan kemudian naskah ini perlu menunggu hingga hampir 30 tahun kemudian untuk bisa diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Launching buku juga bersamaan perayaan hari jadi Yayasan Obor Indonesia yang ke-30 tahun dan juga peluncuran Mochtar Lubis Award yang akan dianugerahkan kepada insan pers dalam karyanya.

Buku yang berisi 142 halaman, menggambarkan bagaimana sosok kehidupan dari seorang Mochtar Lubis. Mochtar Lubis dilahirkan tanggal 7 Maret tahun 1922 di Padang dan meninggal pada 2 Juli 2004 di Jakarta. Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama di Indonesia. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya, salah satu pendiri Yayasan Obor Indonesia, dan a juga keterlibatannya dalam dunia pers nasional maupun internasional. Selain itu, Mochtar Lubis juga tercatat sebagai pendiri majalah sastra dan budaya Horison.

Di luar karier kewartawanan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai seorang sastrawan dengan kritik sosial yang tajam seperti dalam buku Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung dan Harimau-harimau. Namun sebagai budayawan ia pun dikenal sangat tajam. Keikutsertaannya dalam Kongres Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki bulan Juli 1997 melahirkan buku berjudul Manusia Indonesia. Mochtar Lubis pernah menerima anugerah Pena Emas dari Federasi Internasional dan Perhimpunan Pers (1967), dan juga dikenang oleh International Press Insitute (IPI) sebagai salah satu dari “Heroes of The Twentieth Century”--diantara 50 orang di dunia yang mendapatkan penghargaan serupa. Mochtar Lubis memang patut dikenang. Ketokohan dan idealisme di bidang jurnalistik bisa menjadi pelajaran bagi kita. Agus

MENGHIDUPKAN (LAGI) PERPUSTAKAAN SEKOLAH

Oleh Yuyum Daryumi, S,Pd.


Sangat memperhatikan mengamati kondisi sebagian besar siswa di Indonesia terhadap buku bacaan. Keadaan minat baca yang menurun ini berkaitan erat dengan pesaingnya yaitu televisi, game-game elektronik, dan yang tak kalah kuatnya pengaruhnya adalah ponsel. Jika kita melawan para pesaing itu, terutama televise, sepertinya hanya sebuah angan-angan saja. Memang ada sebagian televisi yang mulai peduli dengan pendidikan dan dunia anak, tapi yang menyerbunya dengan tayangan untuk kondsumsi orang dewasa lebih dahsyat lagi. Para pakar media dan LSM dengan berbagai cara memberikan imbauan adar televisi menjadi media yang ramah keluarga. Tapi rupanya motivasi komersial lebih jauh menggiurkan dibandingkan idealisme.

Serangan berikutnya adalah ponsel, ada yang salahkah denga alat komunikasi yang cepat dan praktis ini ? tidak ada. Yang ada justru kekeliruan penggunanya, yang didalamnya adalah siswa kita.

Lalu dari mana kita menyusun benang kusut kondisi ini ? debagai bagian dari masyarakat pembalajaran, kita turut bertanggung jawab atas permasalahan ini. Masyarakat pembelajaran (Learning society) adalah unsur masyarakat –tanpa dibatasi usia – yang secara sadar mengembangkan segenap kemanmpuan jasmani maupun rohaninya untuk kemajuan diri dan lingkungannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Bagian inti dari masyarakat pembelajaran adalah sekolah. Idealnya, sekolahlah yang menjadi motor warga (sekolahnya)nya untuk melek baca. Bahkan disekolah dengan fasilitas minim sekalipun. Tidak ada alasan sebuah sekolah mengandalakan minat baca siswanya tumbuh saat perpustakaan berdiri, misalnya, atau menunggu bantuan dari donatur/pemerintah. Kerelaan para guru dan kepala sekolah untuk menyumbangkan koleksi buku pribadinya pada sekolah yang merupakan awal yang baik untuk mendirikan perpustakaan sekolah.

Sebagai salah satu upaya menumbuhkan minat baca siswa, perpustakaan termasuk sarana yang cukup familiar dikalangan siswa. Namun meskipun sudah dikenal lama, untuk mengenalkan lebih dekat pada siswa diperlukan strategi cermat.

Bagi sekolah yang telah memiliki perpustakaan, layak atau tidak, berbahagialah. Artinya tinggal menguatkan kemabali itikad untuk ’menghidupkan’ lorong-lorong rak buku yang sepi pengunjung. Adalah tugas kita untuk menghapus image, bahwa perpustakaan tak ubahnya seperti museum sekolah.

Kiat dibawah ini adalah praktek sederhana yang pernah saya diterapkan pada sebuah sekolah swasta kecil didaerah.

1. Letak strategis
Posisi ruangan perpustakaan mudah dijangkau oleh pengunjung, memungkinkan siswa untuk lebih sering mendatangi perpustakaan. Kondisi umum perpustakaan sekolah yang menempati bagian pojok/ujung gedung sekolah, justru membuat perpustakaan semakin terasing. Memilih ruangan yang sering dilalui siswa adalah salah satu cara makin mengakrabkan perpustakaan dengan siswa.


2. Sumber daya yang profesional
Sebagai orang yang terlibat langsung dalam pengolahan perpustakaan, petugas perpustakaan adalah mereka yang mau bekerja secara profesional demi kemajuan perpustakaan. Ia sangat paham dengan job description yang harus dilakukan. Mulai dari menyortir buku, memcatat koleksi buku baru, membuat katalog, membuat laporan perkembangan jumlah pengunjung baik dalam bentuk tabel maupun grafik, hingga menyusun kembali buku ketempat semula.


3. Pelayanan prima
Istilah ini awalnya selalu dikaitkan dengan manajemen pemasaran. Namun, tak ada salahnya diterapkan dalam kinerja petugas perpustakaan. Meskipun wilayah pelayanannya tidak luas, namun pelayanan yang maksimal pada pengunjung merupakan kunci yang menarik minat mereka. Secara sederhana, pelayanan prima harus diterapkan petugas perpustakaan diantaranya :

a. Ramah dan bersahabat, jangan segan menyapa dengan senyum setiap pengunjung yang datang
b. Melayani dengan sepenuh hati, meskipun mereka adalah anak-anak yang usianya jauh di bawah kita
c. Sigap dan sistematis dalam melayani peminjaman dan pengembalian buku
d. Sebagao informan utama, berilah keterangan yang lugas jika pengunjung membutuhkan kejelasan seputar masalah perpustakaan


4. Ikuti pelatihan
Sangat terbatas tenaga ahli dibidang perpustakaan, menjadikan perpustakaan dibeberapa sekolah ditangani secara asal-asalan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, petugas perpustakaan dianjurkan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kepustakaan. Untuk masalah ini sekolah harus proaktif mencari informasi tentang program diklat, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun LSM.


5. Menarik simpati dengan siswa dengan cara :
a. Mengadakan berbagai lomba, seperti: lomba minat baca, mendongeng, menulis resensi buku, dll
b. Penataan buku yang tepat dan teratur
c. Menciptakan suasana ruangan perpustakaan yang nyaman
d. Promosikan melalui slogan yang khas gaya remaja, seperti “hari gini ga suka baca buku, cape deh...” , “banyak baca banyak tahu, tidak baca jadi sok tahu”, atau kalimat kreatif lain yang lebih menarik dan mudah diingat


6. Guru memanfaatkan layanan perpustakaan
Kelemahan guru pada umumnya kurang memanfaatkan fasilitas yang ada, seperti laboratorium dan perpustakaan. Menjadikan ruangan perpustakaan sebagai alternatif tempat belajar tentu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi siswa yang selalu belajar dengan sistem klasial. Diruangan ini guru dapat bereksporasi dengan sarana yang ada, seperti menyimak dan menanggapi pemutaran film ilmu pengetahuan, mendiskusikan buku yang mereka pilih dari koleksi perpustakaan. Membuat penilaian terhadap isi buku, atau aktifitas kraetif lainnya


7. Sebagai alternatif jika guru berhalangan hadir
Jika dalam satu hari guru berhalangan hadir dan pengawasan guru piket terbatas, maka salah satu kelas dapat dialihkan keruang perpustakaan. Dalam hal ini petugas perpustakaan harus sigap menangani siswa satu kelas diruang perpustakaan.


8. Pengadaan buku
Salah satu ciri sebuah perpustakaan berkembang diantaranya ditandai dengan jumlah koleksi buku yang terus bertambah. Petugas perpustakaan harus jeli ’membaca’ selera pengunjung. Buku-buku yang sering diminati dan jumlahnya terbatas, harus ditambah. Jika memiliki dana cukup, tambah dengan koleksi buku yang sedang ’booming’ saat itu. Jika dana terbatas, perpustakaan dapat mengusulkan pada sekolah agar setiap siswa kelas tiga yang lulus diajarkan menyumbang buku pada perpustakaan. Agar bermanfaaat, jenis-jenis buku yang layak disumbangkan sudah ditentukan terlebih dahulu oleh petugas.


9. Manajemen keuangan yang transparan
Pengolahan keuangan perpustakaan baik yang bersumber dari pemerintah maupun intern harus dikelola dengan benar. Tuliskan secara rinci terutama pemasukan harian yang berasal dari denda keterlambatan pengembalian buku.


10. Dukungan kepala sekolah
Mengingat perpustakaan dibawah naungan lembaga sekolah, maka setiap kebijakan perpustakaan otomatis telah mendapat persetujuan kepala sekolah selaku penanggung jawab. Seorang pimpinan yang mendukung perubahan, pasti akan menempatkan perpustakaan pada posisi yang sama pentingnya dengan unsur lain disekolah.


Kiat diatas, semoga saja dapat mewujudkan harapan kita untuk membentuk siswa sebagai bagian dari ’reading society’ dengan bacaan yang benar-benar mencerdaskan. Meskipun buku yang diterbitkan di Indonesia terbilang sedikit setiap tahunnya. Sebagai bandingan, ditahun 2006 kita hanya menerbitkan 10.000 buku, sedangkan negara kecil Vietnam mampu menerbitkan 15.000 buku pada tahun yang sama (sumber:Republika Online)

SMAN 1 LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR Sederhana Namun Menjadi Favorit

SMAN 1 Leuwiliang berdiri sejak tahun 1975 dengan status filial atau kelas jauh dari SMAN 1 Bogor. Diusianya yang telah memasuki 33 tahun, SMAN 1 Leuwiliang telah menjelma menjadi sekolah yang difavoritkan oleh masyarakat Kabupaten Bogor khususnya masyarakat kawasan Bogor Barat. Prestasi Internasional pun mampu diraih.

Sekolah yang terletak di Jl. Raya Leuwiliang ini memiliki 800 orang siswa dengan 62 guru yang terdiri dari 34 guru PNS dan 28 guru non PNS atau honorer. Dengan fasilitas yang relatif sederhana, yaitu 22 ruang belajar, 1 laboratorium IPA. 1 laboratorium bahasa dan fasilitas pendukung intra dan ekstrakurikuler lainnya. SMAN 1 Leuwiliang membuka program IPA, IPS dan Bahasa. “Sejak awal berdiri SMAN 1 Leuwiliang telah meraih prestasi yang cukup membanggakan. Di tahun kedua pendiriannya, siswa SMAN 1 Leuwiliang sudah ada yang terpilih sebagai anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka),” ujar Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 1 Leuwiliang, Cecep Sofyan, S.Pd, MM.

Cecep mengharapkan, dari jumlah guru yang ada sekarang, terlihat memang masih banyak guru yang belum berstatus PNS. Semoga ke depan lebih banyak lagi guru yang berstatus PNS mengajar di SMAN 1 Leuwiliang dan semoga pemerintahan kita semakin stabil agar mampu mengangkat PNS terutama guru yang memang masih sangat dibutuhkan.

Sebagai seorang alumni dari angkatan pertama sekolah ini, Cecep cukup bangga akan perkembangan yang dialami oleh SMAN 1 Leuwiliang. Sejak tahun 1992 dirinya bertugas, peningkatan itu terus terjadi baik dari sarana dan prasarana belajar maupun peningkatan kualitas siswa, guru dan tenaga kependidikan lainnya. Meski diakui kemajuan itu tidak berjalan dengan cepat. Namun Cecep, meyakini SMAN Leuwiliang selalu menjadi favorit bagi masyarakat Kabupaten Bogor khusus kawasan Bogor Barat.
Setiap penerimaan siswa di tahun pelajaran baru, SMAN 1 Leuwiliang selalu menerima jumlah pendaftar yang jauh melebihi daya tampung sekolah. Hal ini cukup menggembirakan mengingat hal tersebut merupakan salah satu indikasi besarnya kepercayaan masyarakat kepada pihak sekolah. “Selain itu panitia juga memiliki kesempatan dan peluang mengadakan seleksi yang ketat agar siswa yang diterima benar-benar siswa yang memiliki kemampuan sesuai standar yang sudah ditentukan,” kata Cecep.

Kepercayaan masyarakat terhadap SMAN 1 Leuwiliang cukup beralasan mengingat banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Selain SMAN 1 Leuwiliang memang sudah lama berdiri, reputasinya memang dikenal baik. Dari keterangan Cecep, SMAN 1 Leuwiliang telah banyak berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Lulusan atau alumni SMAN 1 Leuwiliang pun telah banyak yang berhasil di bidang kehidupannya masing-masing. Terakhir lebih dari 50% lulusan SMAN 1 Leuwiliang melanjutkan studi di perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta.

Cecep juga berharap agar di tahun-tahun mendatang, SMAN 1 Leuwiliang bisa terus meraih prestasi yang gemilang. Meskipun dengan fasilitas laboratorium yang masih serba sederhana, di tahun 2008 ini salah satu siswa SMAN 1 Leuwiliang berhasil menjuarai lomba sains tingkat nasional untuk bidang kimia. Dengan mempertahankan hasil percobaan Termokimia, Muhammad Zulqarnaen, siswa kelas XII berhasil meraih gelar The best experiment dalam lomba sains tingkat nasional. Selanjutnya Zulkarnaen akan mewakili Indonesia di ajang kompetisi Internasional yang akan diselenggarakan di Budapes, Hongaria bulan Juli mendatang.

“Kami berharap dan berusaha untuk mewujudkan target kami yaitu menambah fasilitas laboratorium. Saat ini laboratorium yang digunakan untuk praktikum masih sangat terbatas baik ruang maupun peralatannya. Di tahun depan kami berusaha memisahkan antara laboratorium fisika, biologi dan kimia. Momentum diraihnya prestasi gemilang yang diraih siswa kami di tahun ini akan kami jadikan pemacu semangat untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dan kualitas pelayanan kepada siswa,” lanjut Cecep.

Selain fokus pada pencapaian prestasi akademik, SMAN 1 leuwiliang juga terus berupaya memfasilitasi siswa agar menyalurkan bakat dan minatnya melalui program ekstrakurikuler. “Ada lebih dari 10 macam pilihan ekstrakurikuler yang dibina di sekolah kami, siswa boleh memilih ekstrakurikuler sesuai minatnya masing-masing,” terang Cecep. Jika memperhatikan 2 buah lemari di ruang guru, memang menunjukkan begitu banyak tropi sebagai tanda banyaknya prestasi yang telah diraih oleh siswa SMAN 1 Leuwiliang.

Zulqarnaen
Ikut International Chemistry Olympiad



Untuk lebih mengetahui proses pencapain prestasi siswa SMAN 1 Leuwiliang yang menjadi duta bangsa di forum internasional yaitu International Chemistry Olympiad (ICO) yang akan digelar di Budapes, Hongaria Juli mendatang, GOCARA juga menyempatkan diri bertemu dengan Yusuf Arifin, S.Pd guru pembimbing kompetisi. Dijelaskan Yusuf, awalnya Zulqarnaen dan beberapa temannya dilatih dan dibimbing secara intensif dalam menyelesaikan soal-soal kimia. Mereka dikirim sebagai perwakilan sekolah dalam lomba di tingkat kabupaten. Dalam proses seleksi itu Zulqarnaen memang terlihat menonjol dan akhirnya bisa menjuarai kompetisi tersebut.
Selanjutnya Zulqarnaen berhak mewakili kabupaten untuk mengikuti kompetisi tingkat provinsi dan akhirnya Zulqarnaen menjadi salah satu wakil provinsi Jawa Barat dalam kompetisi tingkat nasional di Surabaya.

Zulqarnaen dinilai merupakan siswa yang pendiam, namun karena kesukaannya membaca buku menjadikan dia lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temanya. Meskipun Zulqarnaen memiliki latar belakang orangtua yang tidak mampu, namun dengan semangat belajar dan ketekunannya yang tinggi, tidak mengherankan kalau Zulqarnaen bisa mencapai prestasi menjadi juara olimpeade. “Sekolah telah memberikan dukungan dari awal saat pertama kali Zulqarnaen mendaftar di SMAN 1 Leuwiliang ini, pihak sekolah sudah memberikan keringanan berupa pembebasan biaya sekolah kepada Zulqarnaen. Jadi sebelum Zulqarnaen meraih juara pun sekolah sudah mendukung murid-murid yang memiliki kemampuan akademik tinggi namun kemampuan ekonomi orangtuanya tidak memadai,” lanjut Yusuf.


Zulqarnaen (Kelas XII IPA)
Peraih The Best Experiment dalam Kompetisi Kimia Tngkat Nasional


Ditemui disela-sela waktu ujian praktikum di Laboratorium IPA SMAN 1 Leuwiliang, Zulqarnaen menjawab semua pertanyaan yang ditujukan GOCARA. Zul, begitu teman-temannya biasa menyapa, mengungkapkan dirinya sama sekali tidak menyangka dapat menjuarai kompetisi yang diikutinya. “Saya hanya berusaha menyimak dengan baik penjelasan guru pembimbing, membaca dan mengerjakan latihan soal sesering mungkin dan mengikuti kompetisi dengan baik. Sejak di tingkat Kabupaten saya dapat meraih peringkat pertama dan Alhamdulillah akhirnya bisa meraih predikat The best Experiment waktu di tingkat nasional dan akhirnya dapat terpilih menjadi salah satu wakil Indonesia di kompetisi Internasional nanti,” tutur Zulqarnaen ketika ditanya kiat sukses menjuarai lomba.

Zul juga mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang fisikawan. Namun demikian ia masih mempertimbangkan tawaran beasiswa dari beberapa perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri. “Ada 2 tawaran beasiswa dari universitas luar negeri dan 3 tawaran dari universitas dalam negeri, tapi saya belum memutuskan karena masih berkonsentrasi mempersiapkan kompetisi bulan Juli nanti,” ujarnya. Sukses ya Zul, semoga pulang membawa medali untuk Indonesia. Ray

Belajar dari Filosofi Bangsa Jepang

Oleh : Ubedilah Badrun

Tema Filosofi bangsa mengingatkan saya pada peristiwa kira-kira setahun lalu ketika saya bertemu dengan Matshumoto San, seorang guru di SMA Toshima yang sedang mengambil program master di sebuah Universitas di Tokyo - Jepang. Perbincangan yang berjalan lebih dari 45 menit itu sampai menyinggung Idiologi bangsa Jepang, dan yang saya kaget Matshumoto San tahu tentang Pancasila sebagai Idiologi bangsa Indoensia dengan segala pujian teoritisnya sekaligus miskin prakteknya. Lalu ketika saya tanya tentang idiologi bangsa Jepang? Ia hanya bisa menjawab dengan senyuman sambil mengatakan "we don't have Ideology ".

Ketika masih di Tokyo, saya sempat berbincang dengan Koichi Tokuda, seorang Professor Emeritus Tokyo institute of Technology, kebetulan beliau adalah juga chief adviser of JICA yang sedang mendalami pembelajaran science di Indonesia, beliau berkomentar bahwa kurikulum science di Indonesia terlalu tinggi untuk level SMP dan SMA nya dan beliau tidak bisa membayangkan bagaimana content kurikulum yang begitu padat itu bisa dipraktekkan dengan fasilitas laboratorium di Indonesia yang sangat terbatas.

Dari kisah bertemu dengan Matshumoto dan Koichi Tokuda saya kira bisa sedikit menangkap struktur berfikirnya, bahwa idiologi yang tidak diparktekkan dan kecanggihan teoritis yang kosong eksperimen adalah sebuah kesia-siaan belaka. Saya kira ini kritik tersembunyi manusia Jepang untuk bangsa Indoensia. Dan ini nampaknya penyakit kronis yang menjangkit cukup lama di tubuh bangsa Indonesia.

Garis Lurus Yang Nyaris Sempurna

Dua tahun lalu, saya pernah mengajar di sebuah sekolah Jepang di wilayah Torideshi Ibaraki tentang budaya Indonesia. Mereka tentu saja sangat antusias dengan presentasi budaya, bahkan sejumlah tarian daerah yang mereka lihat gambar-gambarnya minta saya untuk mempraktekkannya, walhasil antusiaisme anak-anak berlanjut dengan tepuk tangan. Saya belajar dari standarisasi sekolah Jepang, dengan fasilitas yang memadai, juga belajar bagaimana contextual teaching learning dijalankan, selain itu saya juga belajar bagaimana PTA (Parents and Teachers Association) mereka menjalankan fungsinya bagi kemajuan sekolah. Dan jangan pernah menanyakan kesejahteraan para gurunya? Kita terlalu jauh tertinggal untuk yang satu ini.
Di sekolah yang saya kunjungi ini, lokasinya berdekatan dengan masyarakat dan dikelilingi kebun, tanaman-tanaman bunga, dan pepohonan yang rindang, disini juga saya menemukan sebuah konsistensi perilaku di tiga lingkungan pendidikan (di rumah, sekolah dan di masyarakat). Di tiga lingkungan ini tidak ada ambivalensi perilaku, baik di rumah, disekolah dan dimasyarakat, nilai-nilai kejujuran, kebersihan, ketertiban sejalan seperti garis lurus yang nyaris sempurna. Hal demikain adalah fenomena umum di negeri sakura ini. Bagaimana di Indonesia? Jawabanya singkat saja "garisnya masih bengkok, mungkin berantakan, dan bahkan patah-patah !", perilaku dirumah, di sekolah dan di masyarakat sangat jauh bertentangan.

Mengejar Kesempurnaan dan Semangat Bushido

Bagaimana watak manusia Jepang terbentuk sehingga filosofi "mengejar kesempurnaan" begitu kuat dimiliki bangsa Jepang ? Dengan sejarah kita diingatkan bahwa bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang penuh carut marut konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut marut ekonomi. Pristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia Jepang sesudah carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar yang pengaruhnya begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini. Bayangkan ketika Kaisar Meiji mengeluarkan proklamasinya yang terkenal (pembentukan parlemen, harus bersatu utk mencapai kesejahteraan bangsa, semua jabatan terbuka utk semua orang, adat istiadat kolot yang menghalangi kemajuan harus dihapus, mengejar kemajuan sebanyak mungkin untuk pembangunan negara). Sejak itu wajib belajar 6 tahun sudah digalakkan, bahkan 6 tahun kemudian (1872) membuat kebijakan wajib belajar 9 tahun (Indonesia baru tahun 1999). Selain itu pengiriman pelajar ke luar negeri juga besar-besaran dilakukan.
Dari akar sejarah ini, Jepang menemukan keagungan masa lalunya yang berjalan lurus menggerakkan kemajuan bangsanya hingga saat ini.

Motoyasu Tanaka dari Kementrian Luar Negeri Jepang ketika memediasi guru-guru pesantren yang diundang ke Jepang dua tahun lalu, pernah berbicara cukup serius dengan saya ketika menyinggung soal mental manusia Jepang. Tanaka San mengatakan bahwa mental manusia Jepang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggungjawab, bersih hati, harus tahu malu). Beliau bercerita bahwa ada seorang Hakim di zaman itu yang bekerja dengan penghasilan pas-pasan tetapi tetap bersikap jujur dan tegas dalam mengadili semua perkara meski kemudian harus meninggal karena kekurangan gizi, tetapi tetap memiliki semangat pengabdian yang luar biasa untuk penegakkan keadilan meski banyak upaya untuk merubah keputusannya dengan berbagai cara termasuk menyogoknya dengan sejumlah uang yang jauh lebih besar dari penghasilannya.

Sontoku Dan Yukichi :
Pembangkit Semangat Belajar Manusia Jepang


Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku (1787-1856) adalah juga catatan yang menarik. Kisah seorang Sontoku yang yatim ditinggal ayahnya, dan kemudian pada usia 15 tahun ia harus bekerja siang malam sambil membaca buku hingga menjadi manusia sukses yang masih tetap rajin bekerja dan belajar hingga menjadi orang yang berpengaruh. Kalau kita cermati dari namanya Sontoku bisa diartikan Son (hormat) dan Toku (berbudi). Sosok yang terhormat karena ahlaknya yang tak kenal lelah bekerja dan belajar.
Kisah Iukuzawa Yukichi (1835-1901) yang hidup di zaman Sakoku (Isolasi) adalah juga kisah yang mengagumkan, Yukichi adalah seorang anak samurai berpangkat tinggi. Dengan semangat belajarnya yang tinggi dan langsung dipraktekkan menjadikannya seorang pemikir yang tangguh. Kerja kerasnya untuk menguasai bahasa Belanda dan Inggris yang mendorongnya untuk belajar ke negeri Belanda dan Amerika telah menjadikannya seorang yang fasih berbahasa asing. Yukichi telah melahirkan pernyataannya yang popular tentang pentingnya menguasai ilmu: “ meski miskin seorang yang berilmu akan tetap berharga”. Pernyataan lainya yang sangat berpengaruh bagi bangsa Jepang adalah “ Sekarang tidak perlu alat-alat perang, yang paling penting adalah Belajar !”. Pendiri Keio University ini juga mengatakan “ Kekuatan Pena lebih kuat dari kekuatan Katana (militer) “. Atau kita bisa mencermati bukunya yang popular yang berjudul “Gakumon No Susume” yang menggerakkan manusia Jepang untuk Belajar , atau pernyataan egaliteriannya yang menarik “ Tenwa Hitono Ueni Hitoo Tsukurazu Hi tono Shitani Hitoo Tsukurazu”. (Tuhan menciptakan manusia itu sama, tidak ada yang diatas dan di bawah / semua manusia itu memiliki hak dan peluang yang sama). Pesan ini untuk membongkar kasta-kasta sosial dimasyarakat Jepang yang membelenggu manusia Jepang pada saat itu, termasuk kultur struktur sosial Jepang yang membelenggu pencarian manusia Jepang akan Ilmu dan kesuksesan Hidup. Pada saat itu kapasitas keilmuan dan kesuksesan hidup hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berdarah biru.

Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku dan kisah Iukuzawa seperti yang saya uraikan diatas adalah sejarah manusia Jepang yang pengaruhnya besar bagi bangkitnya kesadaran intelektualisme di Jepang. Walhasil dari uraian diatas setidaknya bisa dipahami bagaimana pengaruh Restorasi Meiji, dan para pendahulunya yang menggerakkan manusia Jepang untuk mencari ilmu. Hasilnya? Filosofi “mengejar kesempurnaan” menjadi sebuah energi yang terus berjalan hingga saat ini.

Fenomena NEET dan Pareto Principle

Empat tahun di Jepang saya sempat mengamati fenomena NEET (Not in Education, Employment or Training) dikalangan muda Jepang. Fenomena NEET ini menjadi menarik karena secara sosio psikologis adalah mirip sebuah bentuk pemberontakan anak muda Jepang atas kemapanan, mereka melakukan semacam pelarian atas ketidakberdayaannya karena kekejaman kapitalisme. Mereka anak muda Jepang yang tidak mau sekolah, tidak mau bekerja, termasuk tidak mau di training, mereka jumlahnya tidak sedikit dan kabarnya sudah memiliki organisasi. Mereka sangat menggantungkan hidupnya pada orang tua mereka. Dalam sebuah survey, kantor Kabinet Jepang membagi dua kategori NEET ini, yaitu kategori "Tidak mencari kerja" dan "Tidak berkeinginan (kerja)".
Di sisi yang lain ada satu catatan menarik yang bisa kita pelajari dari negara yang sudah maju seperti Jepang ini, yakni Pareto Principle (Vilfredo Pareto, 1906) benar-benar berjalan di negeri Samurai ini. Sebuah teori yang meyakini perbandingan peran dan kontribusi dengan perbandingan 20% berbanding 80%. Jika menggunakan perspektif Vilfredo Pareto untuk memahami Jepang maka kira-kira penjelasan singkatnya seperti ini : 20% manusia Jepang telah menolong 80% manusia Jepang lainya. Artinya mungkin kelompok anak muda NEET yang menggejala di Jepang ini masuk dalam bagian 80% yang tertolong itu. Namun demikian fenomena NEET ini sempat mengkhawatirkan pemerintahan Jepang karena Jepang akan kehilangan beberapa persen pajak dari warganya yang tidak mau bekerja ini.

Sebuah Pertanyaan

Akhirnya dapat dipahami bahwa filosofi bangsa Jepang lahir dari kebesaran spirit para pendahulunya (kisah tokoh pendahulu dan spirit Bushido). Selain itu konsistensi karakter manusia Jepang baik di rumah, sekolah maupun di masyarakat , juga berpengaruh bagi terwujudnya social order yang nampak otomatis dimiliki manusia Jepang. Realitas bangsa Jepang yang sungguh-sungguh memberikan kontribusi dan menolong manusia lainya (20% : 80%), juga memberi pengaruh bagi terbentuknya karakter manusia Jepang dengan filosofinya yang rasionalis. Namun, kekhawatiran akan generasi muda Jepang yang tergilas kapitalisme (seperti fenomena NEET) juga merongrong masa depan Jepang puluhan tahun mendatang. Diduga oleh banyak kalangan Jepang akan kehilangan sekitar 1 juta generasi muda akibat fenomena sosial semacam ini. Beberapa kalangan menduga Jepang akan kekurangan 100 juta tenaga kerja menengah kebawah pada tahun 2050. Akankah filosofi bangsa Jepang tergilas logika kapitalisme yang justru sampai saat ini masih dipuja-puja pemerintahnya? Akankah kekuasaan (dominasi negara di Asia) pada puluhan tahun mendatang akan bergilir ke wilayah lain? Adakah Indonesia bisa belajar dari fenomena Jepang ini?

Ubedilah Badrun, Dosen Sosiologi Politik Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah tinggal di Jepang,

SEJARAH INTERNET

Tahukah kamu ? Bagaimana terbentuknya internet yang kita kenal sekarang ini. Internet adalah jaringan global yang terdiri dari jaringan-jaringan komputer LAN (Local Area Network) maupun WAN (Wide Area Network) yang saat ini menghubungkan ribuan bahkan jutaan komputer diseluruh dunia. Atau dengan kata lain internet adalah networks of networks atau jaringan dalam jaringan.

Internet lahir pada masa perang dingin sekitar tahun 1960-an digunakan untuk keperluan militer. RAND corporations bekerjasama dengan MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan UCLA (University of California) mengembangkan sistem ini untuk departemen pertahanan Amerika. Maka terciptalah ARPANET yang menghubungkan empat buah super komputer yang diperuntukan untuk memudahkan komunikasi bagi angkatan bersenjata Amerika Serikat. Hingga saat ini berkembang sangat pesat dan telah menghubungkan jutaan komputer diseluruh dunia.
Internet sebagai jaringan komputer global telah terbukti dapat mempermudah pemakaiannya baik dalam berkomunikasi maupun dalam pertukaran informasi. Diantara sekian banyak fasilitas yang ditawarkan oleh internet, dibawah ini adalah fasilitas yang paling banyak digunakan :

Electronic Mail (E-Mail)
Adalah surat elektronik yang diterima melalui internet fasilitas ini merupakan yang paling populer & banyak digunakan oleh pengguna internet di dunia dan dapat diterima dalam hitungan menit.

FTP (File Transfer Protocol)
File Tranfer Protocol merupakan fasilitas internet untuk mengakses suatu file yang berada di host komputer. File dapat diletakan (upload) atau diambil (download) kedalam komputer.

WWW (World Wide Web)
Ini adalah fasilitas yang paling popular di internet karena semua informasi diseluruh penjuru dunia dapat dilihat melalui website-website yang ada. WWW adalah fasilitas yang paling pesat perkembangannya. Dari awalnya hanya dapat menampilkan teks saat ini dapat menampilkan suara, gambar, animasi, dan film sehingga berbagai fasilitas dapat dilakukan melalui WWW.

Dengan adanya internet sekarang ini dapat mempermudah kita dalam pencarian dan pertukaran informasi dari berbagai belahan dunia sehingga jarakpun terasa dekat dan waktu terasa cepat irfan.h

SMA NEGERI 1 DEPOK Kerja Keras dan Disiplin Berbuah Prestasi

Dengan kualitas pendidikan yang unggul diharapkan SMA Negeri 1 Depok terus menelurkan putra-putri terbaik bangsa yang diharapkan kelak menjadi pemimpin masa depan. Kerja keras dan disiplin membuahkan prestasi yang tinggi.


Sejarah SMAN 1 Depok

SMA Negeri 1 Depok yang dikenal dengan nama “SMANSA” Depok berdiri sejak tahun 1979, diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang diabadikan dengan tugu peresmian yang ada di koridor sekolah. Sebelumnya sekolah ini berada di bawah lisensi SMA Negeri 1 Bogor, tetapi dengan berbagai pertimbangan dan tuntutan perkembangan wilayah Depok pada masa itu, berdirilah SMA Negeri 1 Depok secara mandiri dan terpisah dari SMA Negeri 1 Bogor.

Sekolah yang berlokasi di Jalan Nusantara Raya Nomor 317 Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok ini ternyata telah mengalami 8 kali pergantian kepemimpinan. M. Djuhdi merupakan Kepala SMA Negeri 1 Depok yang pertama. Beliau menjabat dari tahun 1977-1979. Penggantinya Drs. Ngatijo menjabat sampai tahun 1982. Setelah itu, SMANSA dikepalai oleh M. Daudin tahun 1982-1986. Pada tahun 1986-1989, Drs. Rohandi Natadipura memimpin sekolah ini. Kemudian, beliau digantikan berturut-turut oleh Soegianto Suronto (1989-1993), Drs. Wirya Djaya Atmaja (1993-1995), dan Drs. H. Didi Djunaedi Samaun (1995-2002).
Kemudian berubah menjadi SMA Negeri 1 Depok pada tahun 2003 dengan kepala sekolah yang pertama Drs. H. Sukandi Mustafa. Pengembangan sains dan kedisiplinan menjadi prioritas utama pada saat Sukandi Mustafa menjadi kepala sekolah. Kewajiban memakai pin salah satunya. Pergantian kepemimpinan juga sejalan dengan bertambahnya kualitas sekolah ini baik dari segi fisik pembangunan maupun mental pendidikannya. Dulu, pada saat sekolah ini dioperasikan untuk pertama kalinya, bangunan yang ada hanya ruang kelas 1 dan 2. Pembangunan dan penambahan prasarana terus dilakukan. Kini sekolah ini memiliki 18 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 ruang kepala sekolah, laboratorium IPA, perpustakaan, mushola, kantin, dan sarana lainnya yang menunjang pembelajaran di SMANSA. Akhirnya masyarakat pun mengakui eksistensi SMAN 1 Depok sebagai sekolah favorit. Dengan kualitas pendidikan yang unggul diharapkan SMA Negeri 1 Depok bisa menghasilkan lulusan yang diharapkan bisa menjadi pemimpin di masa depan.
Pada saat GOCARA mengunjungi SMAN 1 Depok tampak suasana begitu tenang dan nyaman, terlihat beberapa guru mondar-mandir menuju ruang tata usaha, tampak pula utusan dari Dinas Pendidikan Kota Depok dan beberapa polisi yang berjaga. Memang pada saat itu Ujian Nasional (UN) tengah digelar di SMA Negeri 1 Depok. “Memang polisi berjaga-jaga di sekolah disebabkan SMA Negeri 1 Depok ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kota Depok sebagai tempat penyimpanan soal-soal UN untuk seluruh sekolah Menengah Atas kota Depok,” kata Drs. H. Sukandi Mustafa kepada GOCARA.
Sebagai sekolah rintisan Sekolah Berstandar Internasional tidak main-main dalam upaya mengembangkan kreativitas muridnya. Dengan visi Menjadikan SMA Negeri 1 Depok sebagai salah satu sekolah unggulan dan terbaik di Jawa Barat. Visi tersebut diimplementasikan melalui misi sekolah, antara lain, meningkatkan kinerja aparatur sekolah yang efektif, efisien dan profesional, meningkatkan segala potensi sumber daya sekolah, mengembangkan wawasan keunggulan, kreatif dan inovatif di bidang pendidikan, dan membangun komitmen kebersamaan dan keteladanan warga sekolah yang harmonis dan religius yang dilandasi Iman dan Taqwa. Pihak sekolah terus berupaya menyempurnakan kurikulum dan metode pembelajarannya. Hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan siswa untuk menghadapi UN. “Dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi UN, pihak sekolah memberikan waktu tambahan bagi siswa sepulang dari sekolah agar siswa memiliki gambaran soal yang akan keluar nantinya,” tutur Sukandi menjelaskan.
Pihak sekolah memberikan pelatihan-pelatihan baik yang diadakan dalam di lingkungan sekolah, maupun dari pemerintah Kota Depok kepada para guru. Pemerintah Kota Depok pada saat ini memiliki perhatian yang besar dalam dunia pendidikan. Pemerintahan Kota Depok telah membantu sekolah-sekolah di wilayah Kota Depok dalam menyediakan sarana dan prasarana sekolah seperti membangun Laboratorium dan perbaikan infrastruktur lainnya. Bantuan ini dirasakan sangat besar manfaatnya bagi pihak sekolah termasuk SMA Negeri 1 Depok. “Perhatian pemerintah Kota Depok sangat besar terbukti dengan bantuan pembuatan laboratorium sekolah,” kata Sukandi.
Prestasi Tinggi Diraih dengan Kerja Keras
SMA Negeri 1 Depok memiliki fasilitas pendukung yang memadai seperti, Laboratorium IPA, Laboratorium LAN & Internet, Laboratorium Komputer, Laboratorium Bahasa, Lab. Hidroponik, Ruang Audio Visual, Ruang Kesenian, Perpustakaan, Lapangan Olah Raga (Tennis, Voli, Futsal, Lompat Jauh, tenis meja, Senam Lantai), Ruang OSIS, Ruang Koperasi, Siswa Ruang UKS/PMR, dan Ruang Ganti telah diaktifkan Hotspot Area SMANSA siswa serta bagi siswa pengguna Notebook yang memiliki fasilitas wireless, agar para siswa dapat mengakses internet secara lebih mudah dan gratis di sekolah. Dalam meningkatkan kreativtas siswa SMA Negeri 1 Depok memiliki banyak ekstrakurikuler. Yakni, bagi siswa yang gemar foto dapat ikut Focus, PEPALA (Pelajar Pecinta Alam), EC (English Club) , Rohis, Rokris, Futsal, CIRRUS (Central Informasi Remaja-Remaja Unik Smansa), Paskibraka, Taekwondo, KOPSIS (Koperasi Siswa), Teater Langit, NBK (Nihongo no Benkyo Kai), PMR WITASA (Palang Merah Remaja Wira Taruna Perkasa), KIR LP&P (Kelompok Ilmiah Remaja Lahan Pertamanan dan Percobaan), Bakset Ball, sepak Bola dan masih banyak kegiatan lainnya.
Dengan fasilitas yang memadai dan ditunjang ektrakurikuler yang baik, SMA Negeri 1 Depok memperoleh prestasi yang sangat memuaskan, baik akademis maupun non akademis. Antara lain Juara 1 dan 2 Olimpiade Akuntansi & Pasar Modal, Juara 1 Siswa berprestasi Kota Depok, Juara Umum The Battle of Chemistry, medali emas Olimpiade Sains National Ekonomi, medali perunggu Olimpiade Sains National Biologi, juara umum 3 Invitasi Taekwondo, Juara 2 lomba Biologi SMA oleh FMIPA UI Depok, juara 1 lomba karya tulis lingkungan oleh Dinas Pendidikan Depok, Juara 2 dan 3 Accounting Competition oleh Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia Jakarta, juara 1 siswa teladan Kota Depok dan masih banyak prestasi yang diraih siswa-siswi SMA Negeri 1 Depok. Semua itu, tentu bisa diraih dengan kerja keras dan disiplin dalam proses pembelajaran. Mujiono

Impian Lain Setelah Ujian Nasional


Ujian Nasional (UN) untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan yang sederajat baru saja berakhir. Para siswa tentu tengah berdebar-debar menanti apakah bisa lolos UN. Selain itu, mereka tentu masih harus berjuang keras untuk bisa masuk ke sekolah lanjutan dan perguruan tinggi yang dipilih. Dipastikan pula untuk bisa masuk ke sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri harus bersaing keras.


Ujian Nasional (UN) agaknya menjadi ”hantu” yang menakutkan bagi sekolah dan para siswa. Apabila kita menyambangi banyak sekolah, tiga bulan sebelum pelaksanaan UN, sekolah dan siswa dipacu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan soal-soal UN. Untuk tahun 2008 pemerintah menaikkan rata-rata nilai kelulusan menjadi 5,25. Mata pelajaran yang di-UN-kan pun bertambah. Selain itu, walaupun belum menjadi penentu kelulusan, UN juga dilaksanakan untuk tingkat SD. Nilai UN kini memang menjadi ”raja”, karena menjadi penentu kelulusan dan menjadi ”tiket” masuk untuk sekolah-sekolah negeri.
Sebab itu, tidak mengherankan banyak sekolah melakukan drilling kepada para siswanya. Dan, para siswa yang ikut UN pun mengikuti bimbingan belajar secara intensif. Barangkali untuk para siswa dari keluarga berada, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pendalaman materi mata pelajaran yang di-UN-kan seperti IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia tidak menjadi persoalan. Untuk sebuah program ”pendalaman materi (PM)” selama 3 bulan, misalnya, siswa dikenakan biaya Rp 375.000 oleh sekolah. PM dilakukan pada pagi hari dari jam 07.00-08.00, kemudian dilanjutkan pada pukul 14.00-16.00.
Disamping itu, banyak siswa yang mengikuti bimbingan belajar, seperti Primagama, Nurul Fikri, IPiim, Teknos, BTA, dan lain-lain. Untuk program bimbingan belajar satu tahun, rata-rata orangtua harus ”merogoh kocek” sekitar Rp 2.500.000. Bahkan, untuk program intensif khusus untuk mata pelajaran yang di-UN-kan selama dua bulan orangtua masih harus membayar sekitar Rp 375.000. Tentu saja biaya tersebut jauh lebih besar, jika harus diperhitungkan dengan biaya-biaya lain, seperti biaya transportasi, pembelian buku-buku soal, foto copy, dan lain-lain. Tidak mengherankan, jika banyak yang mengatakan biaya pendidikan di Indonesia mahal.
Banyak kritik memang terhadap UN. UN dinilai tidak memberikan rasa adil terhadap penentuan kelulusan seorang siswa. Sebab, kelulusan hanya ditentukan oleh 4-6 mata pelajaran. Sementara sesungguhnya penilaian siswa adalah menjadi hak otonom seorang guru. Pembelajaran siswa selama 3 tahun untuk SMP dan SMA, dan 6 tahun untuk SD, hanya dinilai selama 4 hari pelaksanaan UN. Sekolah dan guru seolah dicabut haknya dalam melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kritik demikian rupanya tidak pernah didengar oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas sendiri memperkirakan kelulusan UN tahun 2008 mencapai 90%.
Standarisasi soal-soal UN sendiri menurut Prof. Dr. Djemari Mardapi, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) berdasarkan kurikulum yang telah disusun. Dikatakan, apabila sekolah menerapkan pembelajaran berdasarkan muatan kurikulum maka para siswa tidak akan menemui kesulitan dan menjawab soal-soal UN. Pada sisi lain, Depdiknas pun tidak memonopoli pembuatan soal-soal UN. Setidaknya, Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo menyatakan pelaksanaan UN akan semakin terdesentralisasi. “Pemerintah pusat hanya menitipkan 40% soal. Sisanya ditentukan oleh tim provinsi,” tutur Mendiknas Bambang Sudibyo.
Pemerintah harus mengakomodir sebagian besar aspirasi masyarakat, bukan segelintir saja. Yang memang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, bahwa UN itu adalah menilai pencapaian standar secara nasional dan bukan satu-satunya penentu kelulusan. Penentu kelulusan siswa itu mencakup empat komponen, yaitu, siswa harus mengikuti seluruh program pembelajaran, memiliki kepribadian yang baik, lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
Untuk UN SD kali ini standar nilai kelulusannya ditentukan oleh sekolah masing-masin. Soal ujian 40% dibuat oleh pusat dan 60% dibuat oleh guru-guru di daerah, karena 40% itu untuk pemetaan secara nasional. Jika ada yang mengatakan bahwa UN itu menggunakan pendekatan proyek mungkin mereka tidak tahu berapa dana untuk pelaksanaan ujian nasional ini. Dana yang disetujui DPR untuk program ujian nasional hanya sebesar Rp 90 miliar, jika dibagi untuk keperluan jutaan siswa maka itu kecil sekali. Mungkin untuk mencetak soal saja sudah sangat minim.
UN juga tidak merampas hak atau otoritas guru dalam menilai karena guru tetap melakukan penilaian tes harian atau tes semester. Pemerintah dan masyarakat sudah bahu membahu berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, oleh karenanya nilai standar kelulusan bagi SMA/SMK untuk tahun ini dinaikkan menjadi rata-rata minimal 5,25 dengan nilai minimal setiap mata pelajaran tetap 4,25. Hal ini bertujuan untuk memacu siswa agar terus meningkatkan waktu dan pola belajar mereka agar senantiasa lebih baik lagi. Saya tidak menampik jika memang terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UN, misalkan, ada guru yang mencoba membantu agar siswanya lulus.
Pakar dan praktisi pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman mengungkapkan, adanya kekeliriuan dalam pelaksanaan UN. Arief Rachman mengungkapkan, telah terjadi fenomena peningkatan kecurangan sejak proses UN dijalankan. “Banyak yang perlu diluruskan dalam pelaksanaan UN. Sebab itu, secepatnya saya akan bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla,” kata Arief Rachman.
Kecurangan di dalam UN memang banyak terungkap di media massa. Di Makassar 7 orang kepala sekolah dan sejumlah guru terpaksa berurusan dengan polisi karena melakukan pembocoran soal. Di Sumatera Utara pun sejumlah guru tertangkap tangan tengah membantu siswa menjawab soal-soal. Pelaksanaan UN tahun 2008 ini memang menarik disimak. Pengamanan terhadap soal-soal UN yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah pun dilakukan oleh aparat kepolisian. Bahkan, di sejumlah daerah, soal-soal sempat “diinapkan” terlebih dahulu di kantor polisi sebelum didistribusikan ke sekola-sekolah. Sejumlah siswa yang diwawancarai, misalnya, mengaku mendapatkan bocoran jawaban soal. “Walaupun demikian saya tetap memeriksa kembali jawaban soal yang diterima. Ada beberapa yang tepat, tapi banyak juga yang tidak tepat. Soal-soalnya sendiri lebih mudah dibandingkan latihan-latihan yang diberikan sekolah maupun bimbingan belajar,” tutur Pradipta, seorang siswa di SMP di Jakarta Pusat.
Apa pun UN telah menjadi keputusan pemerintah. Seperti halnya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, pemerintah telah berketetapan hati untuk tidak mengubah pola UN, walaupun seperti dikatakan Mendiknas Bambang Sudibyo, pelaksanaannya akan terus diperbaiki. Tentu perbaikan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Indonesia.
Kini, bagi siswa yang lulus UN tentu masih harus mendapatkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jika nilai UN tinggi tentu saja bisa masuk sekolah negeri unggulan, sebaliknya bagi yang memiliki nilai rata-rata pas-pasan, tentu harus masuk di sekolah swasta. Yang terpenting sesungguhnya, bagaimana para orangtua dan siswa bisa memilih sekolah yang memiliki mutu dalam pelaksanaan pembelajaran. Tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan namun memperhatikan pula pembentukan karakter siswa. Sehingga, tolak ukur pemilihan sekolah bukan sekedar murah dan mahalnya biaya yang harus dibayar. Bukankah begitu? Bkr

MEMANFAATKAN PENGETAHUAN AWAL UNTUK MENEMUKAN

Oleh: Drs Anton Noornia, M.Pd.




Bila pada tulisan sebelumnya kita telah membahas bagaimana cara membelajarkan operasi penjumlahan dan pengurangan pada Bilangan Bulat, maka uraian kali ini kita akan melanjukan pembahasan mengenai Bilangan Bulat tetapi dengan pembahasan operasinya mengenai perkalian.
Guru umumnya memang tidak menemui kendala banyak apabila menjelaskan operasi perkalian pada Bilangan Bulat dibandingkan menjelaskan operasi penjumlahan dan perkalian. Akan tetapi bukannya guru tidak mempunyai kendala dalam mengajarkan operasi perkalian pada bilangan bulat in, terutama dalam hal menyampaikan konsepnya. Biasanya guru sering mengambil jalan pintas dalam menyempaikan konsep perkalian pada bilangan bulat. Jalan pintas yang diambil ini memang terlihat efektif, tetapi sangat dangkal pemahamannya. Guru umunya memberikan saja aturan-aturan/algoritma mengenai perkalian pada bilangan bulat ini, misalnya,

• Bilangan (bulat) positif dikalikan dengan bilangan (bulat) positif hasilnya bilangan (bulat) potitif. ( 1 x 1 = 1 )
• Bilangan (bulat) positif dikalikan dengan bilangan (bulat) negatif hasilnya bilangan (bulat) negatif. ( 1 x -1 = -1 )
• Bilangan (bulat) negatif dikalikan dengan bilangan (bulat) positif hasilnya bilangan (bulat) negatif. ( -1 x 1 = -1 )
• Bilangan (bulat) negatif dikalikan dengan bilangan (bulat) negatif hasilnya bilangan (bulat) potitif. ( -1 x -1 = 1 )

Hal ini memang mudah! Tetapi jika suatu saat siswa bertanya mengapa demikian? Guru sering tidak dapat menjawabnya, dan hanya berkelit bahwa itu demikain aturannya! Dari sananya begitu!
Untuk menghindari proses yang tiba-tiba seperti itu, yang menjadikan seorang guru terjebak dalam keadaan dimana guru harus menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk memberikan alasan yang memang tidak mudah dalam menjelaskan konsep perkalian pada bilangan bulat. Guru dapat menyampaikan konsep perkalian bilangan bulat ini melalui proses pembelajaran yang memanfaatkan pengetahuan awal siswa. Di satu sisi ini menjadikan guru tidak menjadi sasaran pertanyaan dari mana aturan perkalian bilangan bulat itu berasal. Di sisi lain guru berarti menerapkan proses pembelajaran yang lebih banyak melibatkan siswa, sekaligus mencoba mendorong siswa membangan pengetahuannya. Dan ini berarti guru telah menerapkan pembelajaran matematika paradigma baru yang lebih student oriented.
Untuk menjelaskan konsep perkalian pada bilangan bulat ini mulailah dengan apa yang telah diketahui siswa, yaitu barisan bilangan. Berilah beberapa contoh barisan bilangan aritmetika, yaitu barisan bilangan yang naik/bertambah atau turun/berkurang secara konstan. Sambil menentukan barisan bilangan yang tidak diketahui/melanjutkan barisan bilangan selanjutnya tanyakan kepada mereka berapa lompatan bilangan yang terjadi.
Misal,
Perhatikan barisan-barisan bilangan berikut. Berapa besar lompatan masing-masing. Kemudian tentukan 3 bilangan lainnya?

• 3, 6, 9, 12, 15, ..., ..., ...
• 2, 7, 12, 17, 22, 27, ..., ..., ...
• ..., ..., ..., 8, 14, 20, 26, 32.
• ..., ..., ..., 24, 31, 38, 45, 52
• 34, 30, ..., ..., ..., 14, 10, 6
• -7, -5, -3, -1, 1, 3, 5,..., ..., ...
• ..., ..., ..., 5, 8, 11, 14


Sajikan soal-soal seperti ini sehngga siswa tahu bagaimana konsep barisan bilangan aritmetika terbentuk.
Selanjutnya kaitan barisan bilangan dengan hasil perkalian dari dua buah bilangan yang beruntun. Berdasarkan hasil perkalian yang beruntun tersebut mintalah siswa untuk menebak hasilnya.
Misal :
3 x 5 = 15
2 x 5 = 10
1 x 5 = 5 Perhatikan pengali bilangan 5 dan hasilnya, apakah seperti
membentuk barisan bilangan? Barisan bilangan apa itu?
Lanjutkan perkerjaan
0 x 5 = 0
-1 x 5 = ...
-2 x 5 = ...

Lakukan ini berulang-ulang untuk memastikan keyakinan siswa terhadap hasil dari perkalian bilangan positif dan negatif. Setelah mereka yakin akan hasilnya yang didapat, maka mintalah mereka menyimpulkan suatu aturan sendiri, bahwa
• Bilangan (bulat) positif dikalikan dengan bilangan (bulat) negatif hasilnya bilangan (bulat) negatif. ( 1 x -1 = -1 )

Hal ini tentu akan lebih tertanam pada pengetahuan siswa mengenai operasi bilangan bulat ini, karena merekalah yang menduga hasil dan menyimpulkan sendiri hasil yang mereka dapat dari pengamatan terhadap barisan bilangan dan perkalian bilangan yang telah mereka ketahui sebelumnya. Kegiatan ini analog untuk operasi perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif yang menghasilkan bilangan bulat negatif.
Untuk mendapatkan aturan bahwa perkalian dua buah bilangan bulat negatif adalah positif, dapat dilanjutkan dari hasil yang telah diperoleh di atas.
Misal :
Jika mereka telah yakin dengan hasil ini, maka lanjutkan perkalian
-1 x 5 = -5
-2 x 5 = -10
-2 x 4 = -8
-2 x 3 = -6
-2 x 2 = -4
-2 x 1 = -2 Perhatikan pengali bilangan -2 dan hasilnya, apakah seperti
membentuk barisan bilangan? Barisan bilangan apa itu?
Lanjutkan perkerjaan
-2 x 0 = 0
-2 x -1 = ...
-2 x -2 = ...
-2 x -3 = ...

Lakukan ini berulang-ulang untuk memastikan keyakinan siswa terhadap hasil dari perkalian bilangan bulat negatif dan negatif. Setelah mereka yakin akan hasilnya yang didapat, maka mintalah mereka menyimpulkan suatu aturan sendiri, bahwa
• Bilangan (bulat) negatif dikalikan dengan bilangan (bulat) negatif hasilnya bilangan (bulat) negatif. ( -1 x -1 = 1 )

Strategi pengajaran seperti ini dengan memanfaatkan apa yang mereka tahu sebelumnya, sebenarnya dapat dikategorikan juga belajar dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). Pengetahuan mengenai barisan dan perkalian bilangan cacah merupakan pengetahuan yang dianggap realistik bagi siswa untuk memasuki pengetahuan yang baru, yaitu perkalian bilangan bulat. Pengetahuan mengenai barisan dan perkalian bilangan cacah dapat dianggap pengetahun yang cukup nyata bagi siswa untuk belajar materi perkalian bilangan bulat yang abstrak.
Demikian penjelasan mengenai penyajian untuk membelajarkan perkalian bilangan bulat, dimana penjelasan lebih banyak melibatkan siswa dan siswa sendirilah yang nantinya akan menentukan aturannya berdasarkan kerja yang mereka lakukan. Disamping diharapkan lebih mudah dipahami siswa, juga menjadikan guru tidak terjebak dalam memberikan aturan yang tidak meyakinkan dari mana datangnya. Dan juga guru dapat menghindar dari pertanyaan siswa, ”Mengapa bilangan negatif dikali bilangan negatif itu hasilnya positif?”, Guru : ”.....??!!”.

KETERWAKILAN REGIM DAN KEKERASAN POLITIK

Oleh : Dr. Muchlis R. Luddin, MA


Sejak filosof sosial membuat Aristoteles membuat spekulasi bahwa setiap ketimpangan akan mengakibatkan kekerasan politik dan ‘revolusi’, dunia politik kita juga masih menggambarkan hal yang sama. Setidak-tidaknya mengkonfirmasi ulang bahwa hampir semua kekerasan politik dan ‘revolusi’ (mungkin dibaca: reformasi) dapat merubah aspek-aspek kehidupan kenegaraan kita, atau merubah perilaku masyarakat kita. Perubahan itu, setidak-tidaknya bermuara pada dua hal, yakni terjadi konsolidasi atau justru memperparah ketimpangan sosial.

Spekulasi Aristoteles seperti di atas, sekarang ini tengah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kita baru saja menyaksikan ‘drama berulang’ soal ujian nasional. Drama itu menyangkut perubahan perilaku masyarakat pendidikan kita, dari jujur menjadi bohong, dari terpercaya menjadi tak terpercaya, dari pendidik menjadi perusak mental anak, dari sosok teladan menjadi sosok penuh kemunafikan.

Apa lacur, karena peristiwa semacam ini berulang kembali: Satu hari sebelum ujian nasional dilaksanakan, sekelompok guru, kepala sekolah, dinas pendidikan di sebuah ibukota negara, yang menganggap dirinya sebagai negara yang mewarisi peradaban luhur, melakukan persekongkolan (dalam bentuk rapat koordinasi, rapat evaluasi persiapan ujian nasional) untuk menyiasati agar ujian nasional dapat berlangsung dengan ‘sukses’. Ada dua kategori ‘sukses’. Pertama, sukses itu dimaknai bahwa semua siswa yang ikut serta ujian nasional tahun ini harus dapat lulus dengan 90 % lebih dari seluruh siswa yang mengikuti ujian. Pencapaian persentase ini merupakan angka yang sudah ditetapkan oleh otoritas administrator pemerintahan daerah. Angka persentase itu merupakan prestise keberhasilan suatu daerah, apalagi daerah ibukota menjadi ‘barometer’ pembangunan pendidikan. Kedua, untuk mencapai sukses target di atas, para pendidik, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, harus mengatur strategi atau siasat agar target kelulusan dapat tercapai, tanpa ‘mengorbankan’ siswa, tanpa gejolak, tanpa harus sesuai dengan kemampuan siswa.

Persekongkolan komunitas pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Persekongkolan itu berlanjut pada hari H ujian nasional. Modus persekongkolan dibuat beragam dan variatif untuk sekedar ‘menghapus jejak’ agar kalau terjadi sesuatu, persekongkolan tersebut tidak menciderai kebijakan. Cara-cara seperti ini dianggap menjadi lazim. Sekelompok pendidik bekerjasama dengan bimbingan belajar untuk medril soal jawaban yang telah beberapa hari ‘diserahkan’ komunitas pendidikan kepada institusi ini. Tujuannya agar pengenalan soal agar dapat segera ‘disosialisasikan’ kepada peserta ujian yang mengikuti bimbingan belajar. Sekelompok pendidik---guru-guru, petugas pemberi materi les privat, melakukan ‘pengayaan’ anak-anak didik yang akan mengikuti ujian nasional. Mereka memfokuskan dirinya untuk ‘membahas’ mata pelajaran yang akan diujikan, sementara mata pelajaran lain yang tidak diujikan boleh tidak diajarkan. Konsentrasi para pendidik itu tertuju pada mata pelajaran yang diujikan, karena mata pelajaran ini merupakan mata ajar yang sangat penting. Ia penting karena menentukan masa depan anak didiknya, menentukan kelulusan siswa.

Sekelompok pendidik yang lain, sibuk mengotak-atik soal ujian nasional, ketika baru saja soal ujian itu dibagikan kepada siswa peserta ujian. Mereka harus berlomba dengan waktu, karena lima belas menit sebelum akhir waktu ujian, para pendidik itu harus mendiktekan jawaban soal tersebut kepada anak-anak. Modus ’mendiktekan’ jawaban soal juga amat bervariasi. Ada jawaban soal yang dikirim via SMS, ada yang ditempelkan di ruang kamar mandi untuk segera disalin para siswa ketika mereka ’meminta izin’ untuk ke kamar mandi. Ada juga jawaban soal yang dititipkan kepada pengajar lembaga bimbingan belajar untuk diteruskan kepada peserta bimbingannya. Terdapat pula modus yang lebih sofistik, yakni guru-guru berjamaah ’membereskan’ form lembar hasil jawaban siswa setelah ujian usai, seperti terjadi di sebuah sekolah, di suatu kabupaten, di Sumatera Utara.

Modus persekongkolan berkembang sangat variatif, beragam, canggih, serta memperhitungkan segala kemungkinan ketahuan. Prilaku menyimpang seperti itu, bukanlah tanpa sebab. Pada galibnya, para pendidik itu memiliki hati nurani. Mereka juga memiliki kapasitas profesional sebagai pendidik. Tetapi, situasi yang menekan, yang dihadapi oleh komunitas penjaga peradaban ini menyebabkan mereka terpaksa mengambil jalan pintas. Yakni sebuah jalan yang merusak peradaban, sebuah cita-cita besar yang selama ini mereka pelihara, mereka jaga. Pendidikan sebagai lembaga yang membangun peradaban umat manusia.

Persoalannya kemudian adalah apakah pembangunan peradaban manusia itu dapat dikerjakan dengan keculasan, dengan cara-cara tidak beradab melalui pembohongan, ketidakjujuran? Apalagi prilaku semacam itu, dengan telanjang dipertontonkan langsung kepada anak didik yang selama ini mereka bina, anak-anak yang mereka ajarkan nilai-nilai peradaban. Bukankah prilaku yang timpang seperti itu akan memberi roh atau spirit terhadap terlegitimasinya prilaku-prilaku curang, hipokrit di dalam masyarakat. Akankah ketimpangan nilai yang nyata di dalam dunia pendidikan kita itu akan bergerak menjadi benih-benih subur kekerasan, atau keculasan?

Pertanyaan seperti itu bergayut erat dan diberi legitimasi oleh digunakannya pihak-pihak luar di dalam praktik pendidikan. Serbuan densus 88 anti teror terhadap sekelompok guru yang sedang memperbaiki jawaban soal siswa-siswanya, karena guru itu khawatir bahwa siswa tidak akan lulus mencapai target, telah membuktikan bahwa lembaga sekolah mirip dengan lembaga ’organisasi teroris’. Guru-guru yang ’melakukan kenakalan’ akibat tekanan kebijakan politik pendidikan, diidentikkan sebagai oknum-oknum yang melakukan kejahatan terorisme. Yakni sekelompok orang yang akan membahayakan masa depan bangsa dan negara. Oleh karenanya harus ’diserbu’ oleh satuan anti teror.

Kita tidak menyadari bahwa perbuatan ’terkutuk’ guru-guru itu disebabkan atau dipicu oleh sebuah kebijakan politik pendidikan. Politik pendidikan yang sangat meneror mentalitas, meneror prilaku, meneror pandangan dunia guru terhadap apa yang dimaksud dengan pendidikan dan praktik pendidikan. Kebijakan seperti itu, sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik suatu regim. Para guru terpaksa melakukan perbuatan seperti itu, karena harus mengikuti, harus melaksanakan, kebijakan yang meneror hati nuraninya, meneror profesinya, meneror mentalnya. Ujung pangkal dari peristiwa itu sesungguhnya, bukan berada pada pihak guru atau para pendidik di lapangan atau di hilir. Tetapi, awal mulanya prilaku menyimpang ini berada di hulu, yakni di area kebijakan politik pendidikan negara kita. Sumber keresahan sosial, yang menyemai semangat ’revolusi’ atau reformasi baru ditengah-tengah masyarakat, berada pada daerah hulu tersebut.

Para ahli pendidikan, ahli pedagogis, telah lama menyatakan bahwa ujian nasional amat melanggar prinsip-prinsip pendidikan dan pedagogis. Apalagi, pelaksanaan ujian nasional ini tidak disertai oleh suatu kelaziman dalam suatu evaluasi pendidikan. Anak yang gagal tidak diberi kesempatan untuk mengulang. Mereka yang belajar di sekolah yang buruk dipaksa berkompetisi dengan anak yang belajar di sekolah yang baik. Anak yang mempunyai akses besar terhadap sumber belajar dipertandingankan dengan anak-anak yang tidak memilki akses sumber belajar.

Harapan bahwa ujian nasional dapat serta merta meningkatkan mutu pendidikan nasional atau prestasi pendidikan juga belum dapat dibuktikan. Bahkan banyak studi yang menyatakan bahwa disparitas sosial ekonomi yang ada di dalam masyarakat sangat menentukan kualitas hasil pendidikan seseorang. Apalagi, penyelenggaraan ujian nasional kita mengabaikan prasyarat wajib yang harus ditempuh sebelum ujian itu dilakukan. Undang-undang sisdiknas mengharuskan pemerintah untuk memperbaiki terlebih dahulu standar-standar penting pendidikan, seperti standar isi, standar kurikulum, standar sarana prasarana, standar guru dan tenaga kependidikan, standar mutu pendidik dan berbagai standar lainnya. Jika standar itu telah cukup merata, baru kemudian ujian nasional dilaksanakan.

Melihat berulangnya drama ujian nasional, saya merasa khawatir bahwa praktik pendidikan semacam ini akan merangsang ’political violence’, baik yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya atau sebaliknya. Tanda ke arah itu telah muncul ketika keputusan pengadilan tinggi tentang penundaan ujian nasional akan dilawan oleh pemerintah, dimana pemerintah akan naik banding. Peristiwa ini menandai era baru di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara kita. Pemerintah menggugat aspirasi, keinginan dan kehendak rakyatnya. Pemerintah negara berhadap-hadapan langsung dengan rakyatnya. Bertarung satu sama lain. Oleh sebab itu, agak absurd kiranya, ketika saya mendengar banyak pernyataan keluhan dan kegalauan seperti ini: Apakah rakyat kita masih memerlukan pemerintah, karena pada faktanya, mereka tidak mengurusi atau melayani rakyat? Pemerintah justru melawan aspirasi, kehendak rakyat? Apa gunanya kita memilih suatu pemerintahan, apabila pemerintahan yang dipilih oleh rakyat itu menjadi ’lawan tanding’ rakyat? Jika hal ini berlangsung terus, maka mandat rakyat (keterwakilan regim yang dibangun atas dasar mandat rakyat), dapat dipertanyakan kembali. Pemerintah berpikir untuk dirinya sendiri, sementara aspirasi dan kehendak rakyat tak memiliki sambungan dengan pikiran pemerintah. Kesadaran pemerintah berbeda dengan kesadaran rakyat atau warga negaranya. Ketimpangan semakin menganga. Dan jika ini yang terjadi, maka spekulasi Aristoteles sperti dikemukakan pada awal tulisan ini dapat dibenarkan. Ketimpangan pemerintah dan rakyat bisa mendorong terjadinya reformasi baru, kalau tidak hendak disebut sebagai ’revolusi’. Kita berharap hal itu tidak terjadi, karena biaya sosial yang dibutuhkan terlalu besar bagi masa depan masyarakat kita. Hanya orang-orang cerdas yang menyadarinya.

Yayasan Karya Kasih Andreas Memberikan Pelayanan Pendidikan Humanis

Sekolah-sekolah di bawah Yayasan Karya Kasih menekankan pembelajaran untuk siswa secara interaktif. Iklim sekolah yang kondusif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengapresiasi pembelajaran, berhasil mendorong prestasi siswa.


Sekolah Andreas dengan Yayasan Karya Kasih berlokasi di Kompleks Green Garden - Kedoya, Jakarta Barat merupakan embrio pendidikan yang dimulai sejak tahun 1989. Pada saat itu pendidikan baru dimulai dengan 2 kelas Taman Kanak-kanak dan 2 kelas untuk Sekolah Dasar. Semula sekolah hanya menempati ruko (rumah toko) di Sunrise Garden Blok X selama 2 tahun. Kemudian dengan kebijakan Gereja berada di daerah tersebut, Yayasan Karya Kasih kemudian mendirikan SMP (periode ajaran 1991-1992) dan SMA (periode ajaran 2000-2001). Sehingga dengan proses berjalannya waktu Sekolah Andreas telah memiliki PG/TK,SD,SMP dan SMA kesemuanya berada satu lokasi dengan Gereja St. Andreas sendiri di Kompleks Green Garden.


Dengan semboyan sekolah “Non Scholae Sed Vitae Dicimus” yang berarti sekolah bukan hanya untuk ilmu melainkan sekolah juga untuk hidup. Pendidikan sekolah Andreas menerapkan metode dalam proses pembelajaran merupakan metode siswa aktif. Hal tersebut terlihat didalam kelas diadakan diskusi kelompok ataupun dialog ketika GOCARA mendatangi sekolah Andreas tersebut. Kepala SMP FX. Maridjo yang juga mantan pelaksana harian di Yayasan Karya Kasih, mengatakan, metode pembelajaran yang diterap mengharuskan siswa aktif. Pengembangan kemampuan intelektual tidak hanya menjadi perhatian tetapi juga berkomitmen menumbuh kembangkan semua keceradasan (multiple Intelligence), mengedepankan penanaman nilai untuk membentuk pribadi yang berkarakter kuat dengan menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan pengalaman nilai kehidupan lewat interaksi belajar.


Strategi mencapai hasil tanpa meninggalkan prestasi unggul juga tampak dalam srata nilai pendidikan nasional, yang beberapa diantaranya ditempuh dengan pembelajaran dilaksanakan secara efektif. Menciptakan dan melestarikan budaya mutu dengan salah satu caranya adalah profesionalisme pengajar yang sangat diperhatikan, pengelolaan secara efektif tenaga kependidikan, manajemen secara profesional dan transparan. Selain itu, pengembangan sekolah, -pembinaan moral dengan karakter seluruh warga sekolah dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengapresiasikan diri dalam proses metode pembelajaran.

Pengembangan dan pendampingan untuk siswa, menurut Maridjo, benar-benar dipraktekkan dalam pendekatan melalui guru dan siswa, sekolah dengan orangtua, dan juga yayasan dengan staf guru antar unit. Hubungan tersebut dirasakan harmonis dan timbul pendekatan yang simpatik. Sehingga tidak menimbulkan “gap” antar siswa, siswa dengan guru, yayasan, dan orangtua. Selain memiliki keunikan tersendiri dengan pendidikan moral, lokasi yang berada dalam kompleks area gereja, Sekolah Andreas memiliki keunikan tersendiri dalam rangka mewujudkan visi, misi dan startegi. Hal itu dapat tergambar pada SMP Andreas dimana sistem pembelajaran berpegang pada kedisiplinan, keteladanan, mutu pendidikan, sarana prasarana, pengawasan yang melekat dan pendidikan yang religius.

Tidak terlepas dari visi dan misi yang telah digariskan dalam bidang pendidikan, SMP Andreas berusaha menciptakan pendidikan pluralistis, tidak bersifat diskriminatif dan ekslusif. Sekolah ingin melestarikan kemajemukan yang ada di dalam masyarakat, dan pengabdian dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berusaha dikembangkan oleh sekolah dengan pengadaan komputer sebagai kegiatan intra-kurikuler. Sekolah tidak menutup mata dengan perkembangan yang dimanfaatkan secara tidak benar dan telah berdampak negatif pada mentalitas anak.

Terobosan-terobosan baru terus dilakukan, salah satunya adalah dengan peningkatan SDM. Tenaga pendidik dan kependidikan harus memenuhi syarat baik secara administratif ataupun kualitas. Secara administratif guru harus bersekolah S1 dan mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikan. Selain itu, ada prasyarat tertentu dalam untuk menjadi seorang pengajar seperti indeks prestasi kumulatif (IPK) memenuhi syarat dari perguruan tinggi yang diakui baik dan juga lulus seleksi test penerimaan. Untuk peningkatan terus dilakukan pelatihan, studi banding dalam peningkatan yang menjadi bagian utama dalam skala prioritas.

Jumlah siswa untuk setiap kelas pun dibatasi pada angka 20-25 siswa. Hal itu dimaksudkan agar pembinaan dan penanaman nilai pembelajaran dapat berlangsung aktif, dan efisien. Team work yang kompak, cerdas, dan dinamis menjadi pusat perhatian dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Sementara pengembangan kepribadian peserta didik dan sekaligus memasyarakatkan mutu pendidikan, SMP Andreas menjalin pengembangan dengan komunitas pendidikan. Melalui komunitas pendidikan diharapkan muncul persepsi sama diantara unit-unit di bawah Yayasan Karya Kasih dalam mengemban pelayanan pendidikan. “Perwujudan dari kegiatan sekolah juga diapresiasikan dengan menyelenggarakan Andreas Cup. Melalui kegiatan Andreas Cup ini sekolah dapat bergandeng tangan dalam mewujudkan kebersamaan tetapi juga sekaligus dapat meningkatkan prestasi khususnya dalam bidang olahraga dan organisasi sekolah,” ujar FX Maridjo.Agus

Drs. Firdaus Basyuni, MM Direktur Pendidikan Madrasah, Departemen Agama

Memantapkan Eksistensi dan Kualitas Madrasah

Departemen Agama tengah berupaya kelas meningkatkan kualitas pendidikan sekolah-sekolah Islam. Selain sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi dan penghasilan guru terus ditingkatkan.


Lembaga Pendidikan Islam seperti Madrasah, Pesantren, dan lain-lain, telah banyak mendukung program pendidikan untuk semua (education for all); khususnya bagi keluarga miskin, perempuan dan masyarakat pedesaan. Namun, pada aspek kualitas, masih ada kesenjangan dibandingkan mitra mereka (sekolah) yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasioanl (Depdiknas). Dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi Madrasah masuk menjadi subsistem dalam pendidikan nasional. Dalam UU ini Madrasah adalah sama dengan sekolah umum. Madrasah disebut sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang memberikan mata pelajaran umum yang sama dengan sekolah umum.
Meskipun telah ditetapkan dalam perundangan bahwa selain Depdiknas penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan kepada masyarakat juga dilakukan oleh Departemen Agama (Depag). Ditegaskan pula bahwa kedudukan lembaga pendidikan yang dikelola kedua departemen tersebut adalah sama dan sejajar. Namun, pada kenyataannya masih terjadi ketimpangan antara sekolah-sekolah yang dikelola oleh Depdiknas dengan sekolah yang dikelola oleh Depag. Ketertinggalan Depag dalam mengelola lembaga pendidikannya telah disadari oleh pimpinan di Depag.
Drs. Firdaus Basyuni, MM Direktur Pendidikan Madrasah Depag menjelaskan, untuk mengejar ketertinggalan itu Depag sudah menyusun dan melaksanakan rencana strategis dengan fokus kebijakan mengejar ketertinggalan kualitas lulusan Madrasah dan mengubah sistem manajemen dan birokrasi pendidikan. “Dalam menjalankan fokus kebijakan tadi, Depag menetapkan 4 landasan kegiatan yaitu mengutamakan kualitas lulusan, mengutamakan pelayanan kepada lembaga pendidikan (Madrasah) swasta, keberpihakan kepada kaum miskin dan sasaran pelaku utama pendidikan,” kata Firdaus dalam sebuah acara pelatihan bagi guru-guru MTs dan MA di LPMP DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Guru merupakan pelaku utama pendidikan, kerena berdasarkan penelitian Balitbang Depdiknas 63% peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh guru. Ironisnya data-data penelitian tentang guru Madrasah menunjukkan banyaknya permasalahan yang sekaligus menjadi tantangan bagi Depad dalam mengelola pendidikan jika ingin menjadikan Madrasah berkualitas. Permasalahan yang harus segera ditangani itu diantaranya adalah sekitar 50% guru Madrasah mis-match; materi pelajaran yang diampu berbeda dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Selain itu, hanya 42,08% guru yang sudah berkualifikasi S1 atau lebih tinggi, banyak guru mengajar hanya berdasarkan pada semangat; tanpa kompetensi dan keahlian yang memadai. Cukup banyak guru yang mengajar paruh waktu, mungkin karena honor yang tidak memadai meski sekedar untuk hidup layak.

Mengingat hal tersebut, maka Depag berupaya meningkatkan kualitas guru Madrasah. Program yang dilaksanakan adalah dengan menyekolahkan guru mata pelajaran berupa beasiswa penuh S1 dan S2, membangun kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi unggul, bekerjasama dengan lembaga donor asing, meningkatkan penguasaan kompetensi paedagogik dan akademik serta memberikan support kepada guru yang berprestasi.
Selain memberikan besiswa bagi guru, Depag juga memberikan perhatian kepada guru-guru honor dan guru yang mengajar di Madrasah swasta. Untuk meningkatkan kesejahteraannya, mereka diberikan tunjangan atau insentif sebesar Rp 200.000 perbualan yang tahun ini derencanakan akan ditingkatkan menjadi Rp 300.000.
Seiring dengan program wajib belajar bagi anak usia 7 – 15 tahun, maka pemerintah membuka akses pendidikan yang seluas-luasnya. Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2008 ini, 95% anak usia 7 – 15 harus dapat bersekolah atau bisa mendapatkan layanan pendidikan. Untuk itu Depag melalui Dirjen Pendidikan Madrasah telah membangun 46 unit madrasah satu atap pada tahun 2007 dan segera membangun 454 unit Madrasah Tsanawiyah yang tersebar di 9 provinsi pada tahun 2008.
“Dari total anggaran yang ada pada Direktorat Pendidikan Madrasah, 75 % dana dialokasikan untuk peningkatan mutu guru, dengan harapan jika guru Madrasah kualitasnya semakin meningkat, dengan sendirinya kualitas pendidikan di madrasah secara umum akan lebih baik,” ujar Firdaus. Ray



SMP STRADA PELITA PETAMBURAN V Perbaikan Mutu untuk Meraih Prestasi

Sempat mengalami kekurangan siswa, akhirnya SMP Strada Pelita Petamburan bangkit kembali setelah dilakukan peningkatan mutu pembelajaran. Untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) pendalaman materi dipercayakan kepada guru.

Kecerdasan dan kemampuan otak dalam mendapatkan materi pembelajaran merupakan suatu hal yang dirasakan begitu penting. Keseimbangan otak kiri yang berfungsi sebagai daya nalar, logika dengan otak kanan yang berfungsi mengatur emosi, intuisi, kecerdasan dan kreativitas menjadi pilihan dalam penyajian kurikulum pembelajaran di SMP Strada Pelita Petamburan V, Jakarta.
Kondisi tersebut dapat tergambar ketika GOCARA berkunjung ke SMP Strada. Baju bebas yang digunakan siswa pada hari Jumat dan Sabtu, musik yang disajikan dalam pembelajaran, serta fasilitas, seperti penggunaan video-video memperkenalkan bidang studi tertentu) yang disajikan pihak sekolah, menggambarkan konsern dan warna tersendiri. Termasuk dari guru yang lebih menggutamakan siswa sebagai subyek--pandangan bahwa guru adalah ”Harimau” menjadi hilang--dengan pendampingan. Sehingga sekolah mampu menjadi tempat persemaian dari proses kegiatan pembelajaran.

Pasang Surut SMP STRADA

SMP Strada Petamburan V merupakan sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Strada—yang juga memiliki beberapa sekolah lain yang tersebar di beberapa daerah Jakarta dan sekitarnya. Yayasan Strada memiliki cita-cita menjadi sekolah nasional dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan dan mencapai target sebagai sekolah terbaik. Sedangkan Visi Strada sendiri yaitu ”Manusia bagi sesama yang utuh dan unggul dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kepribadian dan Iman serta menjadi unit sekolah terdepan di wilayahnya masing-masing.”
Kini, Yayasan Strada telah berusia 31 tahun. Tentu bukan hal yang mudah untuk dilalui dalam proses pengembangan sekolah. Hal itulah yang tergambar saat perbincangan dengan Yoseph Aliandu S.Pd selaku Kepala Sekolah. Menurut Yoce, panggilan akrabnya, ketika dirinya menjabat kepala sekolah pada tahun 2004, SMP Strada hanya mampu meluluskan 17 siswa. Jumlah siswanya pun sangat sedikit dibandingkan tahun-tahun ajaran sebelumnya. Sepanjang perjalanan SMP Strada, sekolah tersebut mampu meluluskan siswanya ke sekolah favorit dan tidak pernah kekurangan murid.
Sekolah mulai mulai kurang diminati pendaftar sejak tahun 2000. Setiap kelas yang biasanya tersedia 2 atau 3 kelas, hanya disediakan 1 kelas. Hal itu terjadi ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi dengan isu-isu pluralis yang berkembang di tengah masyarakat. Selain itu juga dibarengi dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah negeri secara penuh. Sedangkan, SMP Strada walaupun mendapat bantuan tersebut, namun hanya menutup sebagian biaya pembelajaran siswa.

Perbaikan Mutu Pembelajaran

Keunggulan dan keunikan untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik terus dikembangkan pihak sekolah. Usaha tersebut kini berbuah hasil. Tergambar dari jumlah 112 siswa dengan pendidik yang sebagian besar telah menempuh pendidikan S1. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung, pendekatan guru yang lebih mengena pada murid menjadi pilihan yang utama dalam menggembalikan SMP Strada pada masa kejayaannya.
Menurut Yoce, usaha dalam peningkatan jumlah siswa juga dilakukan dengan kunjungan dirinya ke beberapa sekolah di sekitar SMP Strada Pelita. Selain itu, juga pelibatan siswa/i dalam kegiatan yang ada di luar sekolah. Baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Sehingga dari peningkatan tersebut tidak diragukan SMP Strada menjadi pilihan dalam pilihan studi para siswa menuju peningkatan mutu terdepan kelak.
Para pengelola SMP Strada tidak main-main dalam meningkatkan mutu pendidikan. Misalkan, dalam menghadapi UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandarkan Nasional) yang baru saja diadakan secara serempak di Indonesia. Pembelajaran siswa lebih dipercayakan pada bimbingan langsung yang diberikan pada guru-guru masing-masing bidang studi yang mengajarkan pendidikan selama 3 tahun dibandingkan bimbingan belajar yang diajarkan secara singkat. Sebab, dalam pandangan Yoce, strategi bimbingan belajar dilakukan pada pembahasan soal yang dikeluarkan beberapa tahun lalu. Sehingga kadang bimbel mengeluarkan prediksi soal dan apa jadinya bila soal yang dikeluarkan berbeda? Sementara para siswa telah berharap banyak pada prediksi soal tersebut. Pengarahan guru dilakukan mulai bulan Januari, dengan bimbingan penuh pada saat proses kegaiatan pembelajaran. Pada saat UASBN, siswa juga mendapatkan bimbingan dari guru tambahan untuk materi esok hari dari guru seusai UASBN pada hari tersebut.
Untuk mendukung mutu pendidikan, SMP Strada juga memiliki fasilitas olahraga seperti lapangan basket, futsal, bulutangkis, laboratorium IPA, perpustakaan dan seperangkat alat musik. Selain itu juga ekstrakurikuler olahraga maupun beberapa mata pelajaran yang juga dihadirkan sebagai ekstrakurkuler. Yang tidak kalah penting, juga dilakukan kegiatan seminar dan rekoleksi yang diadakan langsung oleh pihak sekolah. Agus

Suka dan Duka di SMP Strada

Sri Puji Lestari S.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia selama 9 tahun di SMP Strada Petamburan
sejak 1999)

”Ketika saya mulai mengajar, memang ada penurunan dan peningkatan dari jumlah siswa di SMP Strada. Suka-duka melihat anak-anak sekolah dan mau belajar dan sekolah dengan penuh semangat adalah hal yang ditunggu saat berangkat sekolah. Ada beberapa kesedihan juga yang dirasa, misalkan, anak yang bandel dan tidak naik kelas. Sama seperti orang tua melihat perkembangan dari anak. Salah satu suka duka adalah perjalanan rumah dan sekolah yang cukup jauh.”

Fransiskus Assisi Intan Sugianto
(Ketua Kelas IX)

”Saya dari TK sampai SMP sudah di Strada. Sekolahnya biasa aja, tidak berandalan. Pelajaran dan guru-gurunya juga asyik. Pernah masuk ke sekolah lain namun terasa kurang cocok. Sehingga saya lebih memilih Strada. Sambil tertawa Frans, yang ingin melanjutkan ke SMAN 78 menambahkan ada kenangan dan kebahagiaan tersendiri karena di sekolah ini salah satunya mendapat pacar. Dikatakan dirinya menyukai Matematika menjadi mata pelajaran favoritnya karena menghitung dibandingkan Bahasa Indonesia yang harus membaca, dan juga belajar sastra.

Tiffany Angelina
(Siswi kelas IX)

”Kalau di sini merasa ada kecocokan dengan teman-temannya. Guru-guru mengajar dengan jelas dan juga ramah-ramah. Tapi sangat disayangkan ekstrakurikulernya kurang jalan karena tidak mendapat antusias dari murid-murid yang ada. Seusai SMP Fanny ingin melanjutkan pendidikan di SMK Tarakanita-Jakarta.”

Dian Kristi Injilia
(Siswi kelas IX)

”Saya senang di SMP Stratada, karena jika ada masalah guru bisa dijadikan sebagai tempat curahan hati. Bagaimana jalan keluarnya? Kebanyakan sukanya dibandingkan duka karena ada rasa keterbukaan termasuk Kepala Sekolah pada saat memberikan pengarahan. Terlebih pada saat beberapa waktu lalu ketika akan ujian diberi penjelasan jangan main atau lebih serius dalam mengejar prestasi. Guru Matematika dan Bahasa Indonesia merupakan favorit saya.”