Rabu, 11 Juni 2008

Belajar dari Filosofi Bangsa Jepang

Oleh : Ubedilah Badrun

Tema Filosofi bangsa mengingatkan saya pada peristiwa kira-kira setahun lalu ketika saya bertemu dengan Matshumoto San, seorang guru di SMA Toshima yang sedang mengambil program master di sebuah Universitas di Tokyo - Jepang. Perbincangan yang berjalan lebih dari 45 menit itu sampai menyinggung Idiologi bangsa Jepang, dan yang saya kaget Matshumoto San tahu tentang Pancasila sebagai Idiologi bangsa Indoensia dengan segala pujian teoritisnya sekaligus miskin prakteknya. Lalu ketika saya tanya tentang idiologi bangsa Jepang? Ia hanya bisa menjawab dengan senyuman sambil mengatakan "we don't have Ideology ".

Ketika masih di Tokyo, saya sempat berbincang dengan Koichi Tokuda, seorang Professor Emeritus Tokyo institute of Technology, kebetulan beliau adalah juga chief adviser of JICA yang sedang mendalami pembelajaran science di Indonesia, beliau berkomentar bahwa kurikulum science di Indonesia terlalu tinggi untuk level SMP dan SMA nya dan beliau tidak bisa membayangkan bagaimana content kurikulum yang begitu padat itu bisa dipraktekkan dengan fasilitas laboratorium di Indonesia yang sangat terbatas.

Dari kisah bertemu dengan Matshumoto dan Koichi Tokuda saya kira bisa sedikit menangkap struktur berfikirnya, bahwa idiologi yang tidak diparktekkan dan kecanggihan teoritis yang kosong eksperimen adalah sebuah kesia-siaan belaka. Saya kira ini kritik tersembunyi manusia Jepang untuk bangsa Indoensia. Dan ini nampaknya penyakit kronis yang menjangkit cukup lama di tubuh bangsa Indonesia.

Garis Lurus Yang Nyaris Sempurna

Dua tahun lalu, saya pernah mengajar di sebuah sekolah Jepang di wilayah Torideshi Ibaraki tentang budaya Indonesia. Mereka tentu saja sangat antusias dengan presentasi budaya, bahkan sejumlah tarian daerah yang mereka lihat gambar-gambarnya minta saya untuk mempraktekkannya, walhasil antusiaisme anak-anak berlanjut dengan tepuk tangan. Saya belajar dari standarisasi sekolah Jepang, dengan fasilitas yang memadai, juga belajar bagaimana contextual teaching learning dijalankan, selain itu saya juga belajar bagaimana PTA (Parents and Teachers Association) mereka menjalankan fungsinya bagi kemajuan sekolah. Dan jangan pernah menanyakan kesejahteraan para gurunya? Kita terlalu jauh tertinggal untuk yang satu ini.
Di sekolah yang saya kunjungi ini, lokasinya berdekatan dengan masyarakat dan dikelilingi kebun, tanaman-tanaman bunga, dan pepohonan yang rindang, disini juga saya menemukan sebuah konsistensi perilaku di tiga lingkungan pendidikan (di rumah, sekolah dan di masyarakat). Di tiga lingkungan ini tidak ada ambivalensi perilaku, baik di rumah, disekolah dan dimasyarakat, nilai-nilai kejujuran, kebersihan, ketertiban sejalan seperti garis lurus yang nyaris sempurna. Hal demikain adalah fenomena umum di negeri sakura ini. Bagaimana di Indonesia? Jawabanya singkat saja "garisnya masih bengkok, mungkin berantakan, dan bahkan patah-patah !", perilaku dirumah, di sekolah dan di masyarakat sangat jauh bertentangan.

Mengejar Kesempurnaan dan Semangat Bushido

Bagaimana watak manusia Jepang terbentuk sehingga filosofi "mengejar kesempurnaan" begitu kuat dimiliki bangsa Jepang ? Dengan sejarah kita diingatkan bahwa bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang penuh carut marut konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut marut ekonomi. Pristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia Jepang sesudah carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar yang pengaruhnya begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini. Bayangkan ketika Kaisar Meiji mengeluarkan proklamasinya yang terkenal (pembentukan parlemen, harus bersatu utk mencapai kesejahteraan bangsa, semua jabatan terbuka utk semua orang, adat istiadat kolot yang menghalangi kemajuan harus dihapus, mengejar kemajuan sebanyak mungkin untuk pembangunan negara). Sejak itu wajib belajar 6 tahun sudah digalakkan, bahkan 6 tahun kemudian (1872) membuat kebijakan wajib belajar 9 tahun (Indonesia baru tahun 1999). Selain itu pengiriman pelajar ke luar negeri juga besar-besaran dilakukan.
Dari akar sejarah ini, Jepang menemukan keagungan masa lalunya yang berjalan lurus menggerakkan kemajuan bangsanya hingga saat ini.

Motoyasu Tanaka dari Kementrian Luar Negeri Jepang ketika memediasi guru-guru pesantren yang diundang ke Jepang dua tahun lalu, pernah berbicara cukup serius dengan saya ketika menyinggung soal mental manusia Jepang. Tanaka San mengatakan bahwa mental manusia Jepang memang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental Bushido atau jalan hidup samurai (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggungjawab, bersih hati, harus tahu malu). Beliau bercerita bahwa ada seorang Hakim di zaman itu yang bekerja dengan penghasilan pas-pasan tetapi tetap bersikap jujur dan tegas dalam mengadili semua perkara meski kemudian harus meninggal karena kekurangan gizi, tetapi tetap memiliki semangat pengabdian yang luar biasa untuk penegakkan keadilan meski banyak upaya untuk merubah keputusannya dengan berbagai cara termasuk menyogoknya dengan sejumlah uang yang jauh lebih besar dari penghasilannya.

Sontoku Dan Yukichi :
Pembangkit Semangat Belajar Manusia Jepang


Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku (1787-1856) adalah juga catatan yang menarik. Kisah seorang Sontoku yang yatim ditinggal ayahnya, dan kemudian pada usia 15 tahun ia harus bekerja siang malam sambil membaca buku hingga menjadi manusia sukses yang masih tetap rajin bekerja dan belajar hingga menjadi orang yang berpengaruh. Kalau kita cermati dari namanya Sontoku bisa diartikan Son (hormat) dan Toku (berbudi). Sosok yang terhormat karena ahlaknya yang tak kenal lelah bekerja dan belajar.
Kisah Iukuzawa Yukichi (1835-1901) yang hidup di zaman Sakoku (Isolasi) adalah juga kisah yang mengagumkan, Yukichi adalah seorang anak samurai berpangkat tinggi. Dengan semangat belajarnya yang tinggi dan langsung dipraktekkan menjadikannya seorang pemikir yang tangguh. Kerja kerasnya untuk menguasai bahasa Belanda dan Inggris yang mendorongnya untuk belajar ke negeri Belanda dan Amerika telah menjadikannya seorang yang fasih berbahasa asing. Yukichi telah melahirkan pernyataannya yang popular tentang pentingnya menguasai ilmu: “ meski miskin seorang yang berilmu akan tetap berharga”. Pernyataan lainya yang sangat berpengaruh bagi bangsa Jepang adalah “ Sekarang tidak perlu alat-alat perang, yang paling penting adalah Belajar !”. Pendiri Keio University ini juga mengatakan “ Kekuatan Pena lebih kuat dari kekuatan Katana (militer) “. Atau kita bisa mencermati bukunya yang popular yang berjudul “Gakumon No Susume” yang menggerakkan manusia Jepang untuk Belajar , atau pernyataan egaliteriannya yang menarik “ Tenwa Hitono Ueni Hitoo Tsukurazu Hi tono Shitani Hitoo Tsukurazu”. (Tuhan menciptakan manusia itu sama, tidak ada yang diatas dan di bawah / semua manusia itu memiliki hak dan peluang yang sama). Pesan ini untuk membongkar kasta-kasta sosial dimasyarakat Jepang yang membelenggu manusia Jepang pada saat itu, termasuk kultur struktur sosial Jepang yang membelenggu pencarian manusia Jepang akan Ilmu dan kesuksesan Hidup. Pada saat itu kapasitas keilmuan dan kesuksesan hidup hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berdarah biru.

Kisah Kinjiro atau Ninomiya Sontoku dan kisah Iukuzawa seperti yang saya uraikan diatas adalah sejarah manusia Jepang yang pengaruhnya besar bagi bangkitnya kesadaran intelektualisme di Jepang. Walhasil dari uraian diatas setidaknya bisa dipahami bagaimana pengaruh Restorasi Meiji, dan para pendahulunya yang menggerakkan manusia Jepang untuk mencari ilmu. Hasilnya? Filosofi “mengejar kesempurnaan” menjadi sebuah energi yang terus berjalan hingga saat ini.

Fenomena NEET dan Pareto Principle

Empat tahun di Jepang saya sempat mengamati fenomena NEET (Not in Education, Employment or Training) dikalangan muda Jepang. Fenomena NEET ini menjadi menarik karena secara sosio psikologis adalah mirip sebuah bentuk pemberontakan anak muda Jepang atas kemapanan, mereka melakukan semacam pelarian atas ketidakberdayaannya karena kekejaman kapitalisme. Mereka anak muda Jepang yang tidak mau sekolah, tidak mau bekerja, termasuk tidak mau di training, mereka jumlahnya tidak sedikit dan kabarnya sudah memiliki organisasi. Mereka sangat menggantungkan hidupnya pada orang tua mereka. Dalam sebuah survey, kantor Kabinet Jepang membagi dua kategori NEET ini, yaitu kategori "Tidak mencari kerja" dan "Tidak berkeinginan (kerja)".
Di sisi yang lain ada satu catatan menarik yang bisa kita pelajari dari negara yang sudah maju seperti Jepang ini, yakni Pareto Principle (Vilfredo Pareto, 1906) benar-benar berjalan di negeri Samurai ini. Sebuah teori yang meyakini perbandingan peran dan kontribusi dengan perbandingan 20% berbanding 80%. Jika menggunakan perspektif Vilfredo Pareto untuk memahami Jepang maka kira-kira penjelasan singkatnya seperti ini : 20% manusia Jepang telah menolong 80% manusia Jepang lainya. Artinya mungkin kelompok anak muda NEET yang menggejala di Jepang ini masuk dalam bagian 80% yang tertolong itu. Namun demikian fenomena NEET ini sempat mengkhawatirkan pemerintahan Jepang karena Jepang akan kehilangan beberapa persen pajak dari warganya yang tidak mau bekerja ini.

Sebuah Pertanyaan

Akhirnya dapat dipahami bahwa filosofi bangsa Jepang lahir dari kebesaran spirit para pendahulunya (kisah tokoh pendahulu dan spirit Bushido). Selain itu konsistensi karakter manusia Jepang baik di rumah, sekolah maupun di masyarakat , juga berpengaruh bagi terwujudnya social order yang nampak otomatis dimiliki manusia Jepang. Realitas bangsa Jepang yang sungguh-sungguh memberikan kontribusi dan menolong manusia lainya (20% : 80%), juga memberi pengaruh bagi terbentuknya karakter manusia Jepang dengan filosofinya yang rasionalis. Namun, kekhawatiran akan generasi muda Jepang yang tergilas kapitalisme (seperti fenomena NEET) juga merongrong masa depan Jepang puluhan tahun mendatang. Diduga oleh banyak kalangan Jepang akan kehilangan sekitar 1 juta generasi muda akibat fenomena sosial semacam ini. Beberapa kalangan menduga Jepang akan kekurangan 100 juta tenaga kerja menengah kebawah pada tahun 2050. Akankah filosofi bangsa Jepang tergilas logika kapitalisme yang justru sampai saat ini masih dipuja-puja pemerintahnya? Akankah kekuasaan (dominasi negara di Asia) pada puluhan tahun mendatang akan bergilir ke wilayah lain? Adakah Indonesia bisa belajar dari fenomena Jepang ini?

Ubedilah Badrun, Dosen Sosiologi Politik Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah tinggal di Jepang,

Tidak ada komentar: