Rabu, 11 Juni 2008

Yanti Sriyulianti Guru sebagai Faktor Penentu Pendidikan yang Bermutu

Setiap harinya siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah/universitas dimulai dari playgroup, taman kanak-kanak, sampai dengan perguruan tinggi. Siswa mengalami banyak perkembangan dalam pembelajaran tersebut. Dari hal tersebut tentunya tidak lepas dari pendidikan awal dan utama yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Dari proses rutinitas timbul rasa keprihatinan terhadap proses pembelajaran di Indonesia pada saat ini. Kadang anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan bagus dengan dana yang sangat besar, juga model pendidikan yang kadang menjadikan anak didiknya sebagai obyek, bukan sebagai subyek.
Hal itulah yang menarik hati Yanti Sriyulianti terhadap dunia pendidikan. Prihatin ketika melihat anaknya mengalami proses kegiatan sekolah, kemudian Yanti Sriyulianti alumni Farmasi ITB ini merasa perlunya ada pembenahan, sehingga dengan beberapa orangtua yang pada saat itu menjadi ”konsumen” membentuk perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLIP). KerLIP tersebut lahir di Kota Kembang – Bandung. Dari keprihatinan tersebut kemudian mengantar Yanti sebagai aktivis pendidikan dengan beberapa kegiatan organisasi. Diantaranya sebagai penggerak homeschooling, Koordinator Himpunan Penyelenggara Sekolah Rumah, Komunitas Belajar Mandiri Indonesia (HIPSKI), Ketua KerLIP, Union Organizer DPP FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) dan juga sebagai wakil koordinator Education Forum.
Fase awal sebagai aktivis pendidikan dengan dilatarbelakangi keprihatinan tersebut. Yanti berhasil mendorong terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) tentang Dewan Sekolah di Bandung. Perda tersebut berhasil mengedepankan demokrasi, dengan menempatkan stakeholder (pemegang kekuasaan) pada tempat setara yang mengarah pada perbaikan pendidikan. Yanti melihat di tingkat makro juga terdapat kebijakan pendidikan dalam mendukung pendidikan anak, sehingga dirinya dan beberapa rekan berusaha memperjuangkan apa yang dirasakan perlu?. Dari kebijakan makro tersebut Yanti merasakan terdapat hak warga negara yang dilindungi oleh kebijakan. Dari hal tersebut, menurut Yanti, perlu adanya rasa kesadaran sebagai warga negara dan melakukan advokasi pada proses pendidikan bersama dengan dewan sekolah yang telah terbentuk, ”Namun pada saat itu baru dalam batas atau lingkup persekolahan,” ujar Yanti kepada GOCARA dalam sebuah kesempatan di sebuah wisma di bilangan Kuningan-Jakarta Pusat.
Dikatakan, dalam tataran praktek pendidikan, dirasakan banyak keprihatinan terutama pada diri orangtua. Tetapi banyak orangtua menitipkan begitu saja anaknya ke sekolah. Dan, apa yang membuat proses peningkatan mutu pendidikan dari hal yang sangat sederhana. Ketika di Sekolah Dasar (SD), guru sangat berperan penting dan menjadi faktor yang turut mempengaruhi pendidikan juga perkembangan anak. Oleh karena itu semestinya semua pihak menyadari pentingnya memberikan kesejahteraan yang memadai kepada guru, dan hal tersebut bersifat mutlak.

Pada bulan Juli 2000, Yanti dan rekan-rekan peduli pendidikan mendirikan sekolah dengan komitmen menempatkan guru sebagai faktor penentu kualitas pendidikan. Persentase perolehan sekolah dari orangtua, 60-70% diberikan kepada kepala sekolah, pegawai sekolah dan juga guru sekolah dengan pendapatan paling besar dimiliki oleh guru. Dari hal tersebut terbentuk mekanisme, prinsip tumbuh bersama sehingga terjadi ”simbosis mutualisme” antara pelayanan yang diberikan oleh seorang guru dengan tingkat kesejahteraannya. Pada tahun pertama berdirinya sekolah tersebut mampu memiliki karyawan dengan gaji diatas batas UMR (Upah Minimum Regional).
Gerakan selanjutnya yang dilakukan Yanti adalah ketika mengenal ”education for all” di tingkat makro. Pendidikan dilakukan untuk semua anak, apabila di bilang sekolah unggul maka harus mendidik anak dalam keadaan apapun. Misalnya sekolah didirikan di daerah pabrik maka anak dari masyarakat pabrik tersebutlah yang harus didahulukan. Hal tersebut telah diatur dalam sebuah peraturan pemerintah dan telah disetujui sebagai sebuah kesepakatan bersama. Kemudian dilakukan gerakan kampanye untuk menyediakan peningkatan pendidikan bermutu untuk semua, dan KerLIP sebagai sebuah lembaga advokasi pendidikan mulai menguat dengan bergerak di bidang kebijakan. Tahun 2005 ketika terjadi bencana tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, KerLIP melakukan model pendidikan alternatif dengan pendidikan yang berkesesuaian.
Proses akselerasi pendidikan kemudian berkembang, dengan mengintegrasikan keadaan masyarakat sekitar terhadap praktek proses pembelajaran. Sehingga proses pembelajaran terus berjalan. Tahun 2005, Yanti terus berjuang dalam pemenuhan proses pendidikan. Kemudian Yanti bergerak dalam education forum, yang salah satu kegiatannya adalah mengawal bagaimana agar Ujia Aakhir Nasional hanya dijadikan pemetaan kelulusan dan bukan sebagai penentu kelulusan. Yanti juga melakukan support terhadap FGII sebagai mitra pendidikan.
Yanti, dalam kecintaannya terhadap pendidikan, juga melihat banyaknya anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah atau belum bisa menikmati proses pendidikan secara luas. Sehingga terbentuklah Yayasan Gerakan Amal Pendidikan Untuk Rakyat (GAPURA) yang pada saat ini mengelola 800-an anak. Undang-undang sisdiknas pasal 1 - 4 dengan pengembangan pendidikan yang dimiliki oleh anak sangat mendukung untuk pengembangan pendidikan anak dalam masyarakat global.
Dalam menghadapi kebudayaan yang berakselerasi dalam pendidikan di Indonesia sangat dirasakan penting. Yanti mengatakan, pendidikan sebagai kebudayaan dan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan, mengedepankan budaya dan perilaku bangsa, sangat diperlukan bangsa Indonesia. Karena keduanya tidak dapat dilepaskan.
Menurut Yanti, sebagai sebuah negara yang ingin meningkatkan kesejahteraan sangat diperlukan hal yang berkualitas pada semua warga negara terutama dalam pendidikan dasar anak. Peningkatan mutu dengan kualitas guru yang sejahtera sehingga dengan peningkatan pelayanan guru--pendekatan paedagogi dan andragogi--sangat diperlukan dalam konsistensi pendidikan, termasuk beberapa hal yang lain. ”Juga perlu dirasakan dengan karakter bangsa sebagai proses pendidikan, karena hal tersebut sangat diperlukan. Selain itu harus ada gerakan yang menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pendidikan bermutu, bukan pada pembiayaan namun menempatkan pendidikan sebagai proses pembelajaran,” ujar Yanti. Agus

Tidak ada komentar: