Rabu, 11 Juni 2008

Impian Lain Setelah Ujian Nasional


Ujian Nasional (UN) untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan yang sederajat baru saja berakhir. Para siswa tentu tengah berdebar-debar menanti apakah bisa lolos UN. Selain itu, mereka tentu masih harus berjuang keras untuk bisa masuk ke sekolah lanjutan dan perguruan tinggi yang dipilih. Dipastikan pula untuk bisa masuk ke sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri harus bersaing keras.


Ujian Nasional (UN) agaknya menjadi ”hantu” yang menakutkan bagi sekolah dan para siswa. Apabila kita menyambangi banyak sekolah, tiga bulan sebelum pelaksanaan UN, sekolah dan siswa dipacu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan soal-soal UN. Untuk tahun 2008 pemerintah menaikkan rata-rata nilai kelulusan menjadi 5,25. Mata pelajaran yang di-UN-kan pun bertambah. Selain itu, walaupun belum menjadi penentu kelulusan, UN juga dilaksanakan untuk tingkat SD. Nilai UN kini memang menjadi ”raja”, karena menjadi penentu kelulusan dan menjadi ”tiket” masuk untuk sekolah-sekolah negeri.
Sebab itu, tidak mengherankan banyak sekolah melakukan drilling kepada para siswanya. Dan, para siswa yang ikut UN pun mengikuti bimbingan belajar secara intensif. Barangkali untuk para siswa dari keluarga berada, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pendalaman materi mata pelajaran yang di-UN-kan seperti IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia tidak menjadi persoalan. Untuk sebuah program ”pendalaman materi (PM)” selama 3 bulan, misalnya, siswa dikenakan biaya Rp 375.000 oleh sekolah. PM dilakukan pada pagi hari dari jam 07.00-08.00, kemudian dilanjutkan pada pukul 14.00-16.00.
Disamping itu, banyak siswa yang mengikuti bimbingan belajar, seperti Primagama, Nurul Fikri, IPiim, Teknos, BTA, dan lain-lain. Untuk program bimbingan belajar satu tahun, rata-rata orangtua harus ”merogoh kocek” sekitar Rp 2.500.000. Bahkan, untuk program intensif khusus untuk mata pelajaran yang di-UN-kan selama dua bulan orangtua masih harus membayar sekitar Rp 375.000. Tentu saja biaya tersebut jauh lebih besar, jika harus diperhitungkan dengan biaya-biaya lain, seperti biaya transportasi, pembelian buku-buku soal, foto copy, dan lain-lain. Tidak mengherankan, jika banyak yang mengatakan biaya pendidikan di Indonesia mahal.
Banyak kritik memang terhadap UN. UN dinilai tidak memberikan rasa adil terhadap penentuan kelulusan seorang siswa. Sebab, kelulusan hanya ditentukan oleh 4-6 mata pelajaran. Sementara sesungguhnya penilaian siswa adalah menjadi hak otonom seorang guru. Pembelajaran siswa selama 3 tahun untuk SMP dan SMA, dan 6 tahun untuk SD, hanya dinilai selama 4 hari pelaksanaan UN. Sekolah dan guru seolah dicabut haknya dalam melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kritik demikian rupanya tidak pernah didengar oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas sendiri memperkirakan kelulusan UN tahun 2008 mencapai 90%.
Standarisasi soal-soal UN sendiri menurut Prof. Dr. Djemari Mardapi, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) berdasarkan kurikulum yang telah disusun. Dikatakan, apabila sekolah menerapkan pembelajaran berdasarkan muatan kurikulum maka para siswa tidak akan menemui kesulitan dan menjawab soal-soal UN. Pada sisi lain, Depdiknas pun tidak memonopoli pembuatan soal-soal UN. Setidaknya, Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo menyatakan pelaksanaan UN akan semakin terdesentralisasi. “Pemerintah pusat hanya menitipkan 40% soal. Sisanya ditentukan oleh tim provinsi,” tutur Mendiknas Bambang Sudibyo.
Pemerintah harus mengakomodir sebagian besar aspirasi masyarakat, bukan segelintir saja. Yang memang perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, bahwa UN itu adalah menilai pencapaian standar secara nasional dan bukan satu-satunya penentu kelulusan. Penentu kelulusan siswa itu mencakup empat komponen, yaitu, siswa harus mengikuti seluruh program pembelajaran, memiliki kepribadian yang baik, lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
Untuk UN SD kali ini standar nilai kelulusannya ditentukan oleh sekolah masing-masin. Soal ujian 40% dibuat oleh pusat dan 60% dibuat oleh guru-guru di daerah, karena 40% itu untuk pemetaan secara nasional. Jika ada yang mengatakan bahwa UN itu menggunakan pendekatan proyek mungkin mereka tidak tahu berapa dana untuk pelaksanaan ujian nasional ini. Dana yang disetujui DPR untuk program ujian nasional hanya sebesar Rp 90 miliar, jika dibagi untuk keperluan jutaan siswa maka itu kecil sekali. Mungkin untuk mencetak soal saja sudah sangat minim.
UN juga tidak merampas hak atau otoritas guru dalam menilai karena guru tetap melakukan penilaian tes harian atau tes semester. Pemerintah dan masyarakat sudah bahu membahu berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, oleh karenanya nilai standar kelulusan bagi SMA/SMK untuk tahun ini dinaikkan menjadi rata-rata minimal 5,25 dengan nilai minimal setiap mata pelajaran tetap 4,25. Hal ini bertujuan untuk memacu siswa agar terus meningkatkan waktu dan pola belajar mereka agar senantiasa lebih baik lagi. Saya tidak menampik jika memang terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UN, misalkan, ada guru yang mencoba membantu agar siswanya lulus.
Pakar dan praktisi pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman mengungkapkan, adanya kekeliriuan dalam pelaksanaan UN. Arief Rachman mengungkapkan, telah terjadi fenomena peningkatan kecurangan sejak proses UN dijalankan. “Banyak yang perlu diluruskan dalam pelaksanaan UN. Sebab itu, secepatnya saya akan bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla,” kata Arief Rachman.
Kecurangan di dalam UN memang banyak terungkap di media massa. Di Makassar 7 orang kepala sekolah dan sejumlah guru terpaksa berurusan dengan polisi karena melakukan pembocoran soal. Di Sumatera Utara pun sejumlah guru tertangkap tangan tengah membantu siswa menjawab soal-soal. Pelaksanaan UN tahun 2008 ini memang menarik disimak. Pengamanan terhadap soal-soal UN yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah pun dilakukan oleh aparat kepolisian. Bahkan, di sejumlah daerah, soal-soal sempat “diinapkan” terlebih dahulu di kantor polisi sebelum didistribusikan ke sekola-sekolah. Sejumlah siswa yang diwawancarai, misalnya, mengaku mendapatkan bocoran jawaban soal. “Walaupun demikian saya tetap memeriksa kembali jawaban soal yang diterima. Ada beberapa yang tepat, tapi banyak juga yang tidak tepat. Soal-soalnya sendiri lebih mudah dibandingkan latihan-latihan yang diberikan sekolah maupun bimbingan belajar,” tutur Pradipta, seorang siswa di SMP di Jakarta Pusat.
Apa pun UN telah menjadi keputusan pemerintah. Seperti halnya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, pemerintah telah berketetapan hati untuk tidak mengubah pola UN, walaupun seperti dikatakan Mendiknas Bambang Sudibyo, pelaksanaannya akan terus diperbaiki. Tentu perbaikan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Indonesia.
Kini, bagi siswa yang lulus UN tentu masih harus mendapatkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jika nilai UN tinggi tentu saja bisa masuk sekolah negeri unggulan, sebaliknya bagi yang memiliki nilai rata-rata pas-pasan, tentu harus masuk di sekolah swasta. Yang terpenting sesungguhnya, bagaimana para orangtua dan siswa bisa memilih sekolah yang memiliki mutu dalam pelaksanaan pembelajaran. Tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan namun memperhatikan pula pembentukan karakter siswa. Sehingga, tolak ukur pemilihan sekolah bukan sekedar murah dan mahalnya biaya yang harus dibayar. Bukankah begitu? Bkr

Tidak ada komentar: