Rabu, 11 Juni 2008

KETERWAKILAN REGIM DAN KEKERASAN POLITIK

Oleh : Dr. Muchlis R. Luddin, MA


Sejak filosof sosial membuat Aristoteles membuat spekulasi bahwa setiap ketimpangan akan mengakibatkan kekerasan politik dan ‘revolusi’, dunia politik kita juga masih menggambarkan hal yang sama. Setidak-tidaknya mengkonfirmasi ulang bahwa hampir semua kekerasan politik dan ‘revolusi’ (mungkin dibaca: reformasi) dapat merubah aspek-aspek kehidupan kenegaraan kita, atau merubah perilaku masyarakat kita. Perubahan itu, setidak-tidaknya bermuara pada dua hal, yakni terjadi konsolidasi atau justru memperparah ketimpangan sosial.

Spekulasi Aristoteles seperti di atas, sekarang ini tengah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kita baru saja menyaksikan ‘drama berulang’ soal ujian nasional. Drama itu menyangkut perubahan perilaku masyarakat pendidikan kita, dari jujur menjadi bohong, dari terpercaya menjadi tak terpercaya, dari pendidik menjadi perusak mental anak, dari sosok teladan menjadi sosok penuh kemunafikan.

Apa lacur, karena peristiwa semacam ini berulang kembali: Satu hari sebelum ujian nasional dilaksanakan, sekelompok guru, kepala sekolah, dinas pendidikan di sebuah ibukota negara, yang menganggap dirinya sebagai negara yang mewarisi peradaban luhur, melakukan persekongkolan (dalam bentuk rapat koordinasi, rapat evaluasi persiapan ujian nasional) untuk menyiasati agar ujian nasional dapat berlangsung dengan ‘sukses’. Ada dua kategori ‘sukses’. Pertama, sukses itu dimaknai bahwa semua siswa yang ikut serta ujian nasional tahun ini harus dapat lulus dengan 90 % lebih dari seluruh siswa yang mengikuti ujian. Pencapaian persentase ini merupakan angka yang sudah ditetapkan oleh otoritas administrator pemerintahan daerah. Angka persentase itu merupakan prestise keberhasilan suatu daerah, apalagi daerah ibukota menjadi ‘barometer’ pembangunan pendidikan. Kedua, untuk mencapai sukses target di atas, para pendidik, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, harus mengatur strategi atau siasat agar target kelulusan dapat tercapai, tanpa ‘mengorbankan’ siswa, tanpa gejolak, tanpa harus sesuai dengan kemampuan siswa.

Persekongkolan komunitas pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Persekongkolan itu berlanjut pada hari H ujian nasional. Modus persekongkolan dibuat beragam dan variatif untuk sekedar ‘menghapus jejak’ agar kalau terjadi sesuatu, persekongkolan tersebut tidak menciderai kebijakan. Cara-cara seperti ini dianggap menjadi lazim. Sekelompok pendidik bekerjasama dengan bimbingan belajar untuk medril soal jawaban yang telah beberapa hari ‘diserahkan’ komunitas pendidikan kepada institusi ini. Tujuannya agar pengenalan soal agar dapat segera ‘disosialisasikan’ kepada peserta ujian yang mengikuti bimbingan belajar. Sekelompok pendidik---guru-guru, petugas pemberi materi les privat, melakukan ‘pengayaan’ anak-anak didik yang akan mengikuti ujian nasional. Mereka memfokuskan dirinya untuk ‘membahas’ mata pelajaran yang akan diujikan, sementara mata pelajaran lain yang tidak diujikan boleh tidak diajarkan. Konsentrasi para pendidik itu tertuju pada mata pelajaran yang diujikan, karena mata pelajaran ini merupakan mata ajar yang sangat penting. Ia penting karena menentukan masa depan anak didiknya, menentukan kelulusan siswa.

Sekelompok pendidik yang lain, sibuk mengotak-atik soal ujian nasional, ketika baru saja soal ujian itu dibagikan kepada siswa peserta ujian. Mereka harus berlomba dengan waktu, karena lima belas menit sebelum akhir waktu ujian, para pendidik itu harus mendiktekan jawaban soal tersebut kepada anak-anak. Modus ’mendiktekan’ jawaban soal juga amat bervariasi. Ada jawaban soal yang dikirim via SMS, ada yang ditempelkan di ruang kamar mandi untuk segera disalin para siswa ketika mereka ’meminta izin’ untuk ke kamar mandi. Ada juga jawaban soal yang dititipkan kepada pengajar lembaga bimbingan belajar untuk diteruskan kepada peserta bimbingannya. Terdapat pula modus yang lebih sofistik, yakni guru-guru berjamaah ’membereskan’ form lembar hasil jawaban siswa setelah ujian usai, seperti terjadi di sebuah sekolah, di suatu kabupaten, di Sumatera Utara.

Modus persekongkolan berkembang sangat variatif, beragam, canggih, serta memperhitungkan segala kemungkinan ketahuan. Prilaku menyimpang seperti itu, bukanlah tanpa sebab. Pada galibnya, para pendidik itu memiliki hati nurani. Mereka juga memiliki kapasitas profesional sebagai pendidik. Tetapi, situasi yang menekan, yang dihadapi oleh komunitas penjaga peradaban ini menyebabkan mereka terpaksa mengambil jalan pintas. Yakni sebuah jalan yang merusak peradaban, sebuah cita-cita besar yang selama ini mereka pelihara, mereka jaga. Pendidikan sebagai lembaga yang membangun peradaban umat manusia.

Persoalannya kemudian adalah apakah pembangunan peradaban manusia itu dapat dikerjakan dengan keculasan, dengan cara-cara tidak beradab melalui pembohongan, ketidakjujuran? Apalagi prilaku semacam itu, dengan telanjang dipertontonkan langsung kepada anak didik yang selama ini mereka bina, anak-anak yang mereka ajarkan nilai-nilai peradaban. Bukankah prilaku yang timpang seperti itu akan memberi roh atau spirit terhadap terlegitimasinya prilaku-prilaku curang, hipokrit di dalam masyarakat. Akankah ketimpangan nilai yang nyata di dalam dunia pendidikan kita itu akan bergerak menjadi benih-benih subur kekerasan, atau keculasan?

Pertanyaan seperti itu bergayut erat dan diberi legitimasi oleh digunakannya pihak-pihak luar di dalam praktik pendidikan. Serbuan densus 88 anti teror terhadap sekelompok guru yang sedang memperbaiki jawaban soal siswa-siswanya, karena guru itu khawatir bahwa siswa tidak akan lulus mencapai target, telah membuktikan bahwa lembaga sekolah mirip dengan lembaga ’organisasi teroris’. Guru-guru yang ’melakukan kenakalan’ akibat tekanan kebijakan politik pendidikan, diidentikkan sebagai oknum-oknum yang melakukan kejahatan terorisme. Yakni sekelompok orang yang akan membahayakan masa depan bangsa dan negara. Oleh karenanya harus ’diserbu’ oleh satuan anti teror.

Kita tidak menyadari bahwa perbuatan ’terkutuk’ guru-guru itu disebabkan atau dipicu oleh sebuah kebijakan politik pendidikan. Politik pendidikan yang sangat meneror mentalitas, meneror prilaku, meneror pandangan dunia guru terhadap apa yang dimaksud dengan pendidikan dan praktik pendidikan. Kebijakan seperti itu, sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik suatu regim. Para guru terpaksa melakukan perbuatan seperti itu, karena harus mengikuti, harus melaksanakan, kebijakan yang meneror hati nuraninya, meneror profesinya, meneror mentalnya. Ujung pangkal dari peristiwa itu sesungguhnya, bukan berada pada pihak guru atau para pendidik di lapangan atau di hilir. Tetapi, awal mulanya prilaku menyimpang ini berada di hulu, yakni di area kebijakan politik pendidikan negara kita. Sumber keresahan sosial, yang menyemai semangat ’revolusi’ atau reformasi baru ditengah-tengah masyarakat, berada pada daerah hulu tersebut.

Para ahli pendidikan, ahli pedagogis, telah lama menyatakan bahwa ujian nasional amat melanggar prinsip-prinsip pendidikan dan pedagogis. Apalagi, pelaksanaan ujian nasional ini tidak disertai oleh suatu kelaziman dalam suatu evaluasi pendidikan. Anak yang gagal tidak diberi kesempatan untuk mengulang. Mereka yang belajar di sekolah yang buruk dipaksa berkompetisi dengan anak yang belajar di sekolah yang baik. Anak yang mempunyai akses besar terhadap sumber belajar dipertandingankan dengan anak-anak yang tidak memilki akses sumber belajar.

Harapan bahwa ujian nasional dapat serta merta meningkatkan mutu pendidikan nasional atau prestasi pendidikan juga belum dapat dibuktikan. Bahkan banyak studi yang menyatakan bahwa disparitas sosial ekonomi yang ada di dalam masyarakat sangat menentukan kualitas hasil pendidikan seseorang. Apalagi, penyelenggaraan ujian nasional kita mengabaikan prasyarat wajib yang harus ditempuh sebelum ujian itu dilakukan. Undang-undang sisdiknas mengharuskan pemerintah untuk memperbaiki terlebih dahulu standar-standar penting pendidikan, seperti standar isi, standar kurikulum, standar sarana prasarana, standar guru dan tenaga kependidikan, standar mutu pendidik dan berbagai standar lainnya. Jika standar itu telah cukup merata, baru kemudian ujian nasional dilaksanakan.

Melihat berulangnya drama ujian nasional, saya merasa khawatir bahwa praktik pendidikan semacam ini akan merangsang ’political violence’, baik yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya atau sebaliknya. Tanda ke arah itu telah muncul ketika keputusan pengadilan tinggi tentang penundaan ujian nasional akan dilawan oleh pemerintah, dimana pemerintah akan naik banding. Peristiwa ini menandai era baru di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara kita. Pemerintah menggugat aspirasi, keinginan dan kehendak rakyatnya. Pemerintah negara berhadap-hadapan langsung dengan rakyatnya. Bertarung satu sama lain. Oleh sebab itu, agak absurd kiranya, ketika saya mendengar banyak pernyataan keluhan dan kegalauan seperti ini: Apakah rakyat kita masih memerlukan pemerintah, karena pada faktanya, mereka tidak mengurusi atau melayani rakyat? Pemerintah justru melawan aspirasi, kehendak rakyat? Apa gunanya kita memilih suatu pemerintahan, apabila pemerintahan yang dipilih oleh rakyat itu menjadi ’lawan tanding’ rakyat? Jika hal ini berlangsung terus, maka mandat rakyat (keterwakilan regim yang dibangun atas dasar mandat rakyat), dapat dipertanyakan kembali. Pemerintah berpikir untuk dirinya sendiri, sementara aspirasi dan kehendak rakyat tak memiliki sambungan dengan pikiran pemerintah. Kesadaran pemerintah berbeda dengan kesadaran rakyat atau warga negaranya. Ketimpangan semakin menganga. Dan jika ini yang terjadi, maka spekulasi Aristoteles sperti dikemukakan pada awal tulisan ini dapat dibenarkan. Ketimpangan pemerintah dan rakyat bisa mendorong terjadinya reformasi baru, kalau tidak hendak disebut sebagai ’revolusi’. Kita berharap hal itu tidak terjadi, karena biaya sosial yang dibutuhkan terlalu besar bagi masa depan masyarakat kita. Hanya orang-orang cerdas yang menyadarinya.

Tidak ada komentar: