Rabu, 11 Juni 2008

Pengangguran Terdidik (SIKAP)

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja melansir jumlah pengangguran di Indonesia yang mencapai pada kisaran 100 juta orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta jiwa, menunjukkan besaran angka pengangguran tersebut hampir 50%. Sungguh apabila angka tersebut faktual, maka kita patut sangat prihatin. Pengangguran tersebut akan terus bertambah, apabila perubahan perekonomian nasional tidak bisa dilakukan. Bahkan, bisa saja jumlah pengangguran akan meningkat, jika banyak industri melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara jumlah lulusan Perguruan Tinggi (PT) mencapai 700.000 orang setiap tahun.

Beban masyarakat tentu akan semakin berat pada saat terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diputuskan sebesar 28,7%. Walaupun akan ada perlakuan khusus untuk pengendara sepeda motor dan angkutan umum, tetapi efek samping kenaikan tersebut tidak bisa dihindarkan. Dengan jumlah pengangguran yang melambung tinggi, produktivitas masyarakat tentu akan menjadi rendah. Pun, daya beli masyarakat akan semakin menurun, apalagi kenaikan harga kebutuhan sehari-hari ikut-ikutan naik.
Kita tentunya tidak mengharapkan tingginya angka pengangguran akan memicu konflik sosial. Ancaman konflik sosial bisa saja terjadi, manakala tekanan terhadap kehidupan seseorang semakin berat. Rasa frustasi akan sangat mudah memancing emosi masyarakat. Ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, bisa menimbulkan anarkisme. Sementara itu, dipastikan akibat desakan kebutuhan ekonomi, banyak penganggur kemudian melakukan tindakan kriminal. Pemerintah memang memiliki program kompensasi atas kenaikan harga BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun, tentu saja BLT ini bersifat sementara. Bahkan, dicurigai BLT memiliki motif politik. Pun, dinilai BLT malah memperkeruh suasana, karena terjadi kekisruhan dalam pembagiannya. Tidak mengherankan, banyak Pemerintah Daerah bahkan kepala desa menolak kebijakan BLT ini.

Pemerintah memang harus mencari solusi yang lebih komprehensif untuk mengatasi krisis perekonomian pada saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengungkapkan, beberapa tahun ini pertumbuhan ekonomi mencapai 6% pertahun. Dengan demikian telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian. Jika benar pertumbuhan ekonomi sebesar 6% diperkirakan sekitar 1,8 juta tenaga kerja yang bisa diserap setiap tahunnya. Yang menjadi persoalan, dibandingkan RRC dan Vietnam, konsentrasi pemerintah dalam pembangunan sektor perekonomian lebih dititikberatkan pada sektor minyak dan gas. Selain itu, pada industri-industri padat modal—menggunakan teknologi tinggi. Sehingga, hanya berdampak kecil terhadap daya serap tenaga kerja. Seharusnya, pemerintah secara konsisten mendorong sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan industri-industri yang mampu menyerap tenaga kerja besar.
Kebijakan di sektor perekonomian ini, berlawanan arus dengan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pada saat ini Depdiknas tengah memacu pertumbuhan dan peningkatan kualitas sekolah-sekolah kejuruan (SMK). Ditargetkan perbandingan pertumbuhannya menjadi berbanding terbalik 70% SMK : 30% SMA. Sekolah kejuruan dimaksudkan untuk mendorong tersedianya tenaga kerja yang memiliki keterampilan tertentu terhadap mereka yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada sisi lain, tidak banyak pula perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki konsern terhadap kemandirian lulusannya. Hanya sedikit perguruan tinggi yang memiliki misi merangsang lulusannya untuk menjadi enterpreneur-enterpreneur muda, sehingga tidak tergantung kepada peluang kerja pada korporasi-korporasi yang ada.

Kompleksitas persoalan makro dan mikro ekonomi Indonesia ini, harusnya menjadi konsern pula Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Bukankah kita memiliki para ahli di banyak bidang yang ”bercokol” di PT? Akan lebih baik jika pemerintah mau mengajak mereka untuk mencari solusi pagi persoalan Negara? Sumbangsih para ilmuwan pada saat ini sangat dibutuhkan. Tentunya, hal tersebut dibutuhkan kerendahan hati, ketulusan hati, dan membuang jauh-jauh interes politik masih-masing pihak. Sebab, kita tidak bisa membiarkan tenaga kerja terdidik tersebut menjadi pengangguran abadi. Dan, patut diingat, tekanan perekonomian—sudah ”mencekik leher sebagian besar masyarakat.” Tunggu apalagi...

Tidak ada komentar: