Rabu, 11 Juni 2008

KAPAN KESADARAN ITU DATANG?

Menjadikan sektor pendidikan sebagai ‘panglima’. Kalimat itu yang sering kita dengar saat tokoh-tokoh berbicara, baik itu tokoh pendidikan yang terlihat ‘greget’ sambil menampakkan raut setengah frustasinya karena kecewa terhadap realita yang ada, atau tokoh politik yang berkomentar tentang pendidikan dengan wajah pamrih agar mendapat simpati dari komunitas pendidikan saat datang pemilu nanti. Begitu juga, tulisan atau artikel yang ditulis oleh berbagai kalangan dari guru kecil sampai guru besar, dari masyarakat kecil sampai tokoh pembesar negeri ini dan dimuat oleh berbagai media, dari media kecil atau media besar, lokal ataupun berskala nasional sudah banyak sekali yang merekomendasikan pemerintah untuk segera ‘menjadikan pendidikan sebagai panglima’.

Istilah panglima secara sederhana dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah pasukan perang. Jika pembangunan yang sedang dilaksanakan saat ini dianalogikan sebagai medan perang, maka disitu pendidikan harus ditempatkan sebagai panglima Dengan kata lain pendidikan harus menjadi prioritas utama dan pertama dari sekian prioritas yang menjadi target pembangunan. Pertanyaannya sudahkah pendidikan menjadi panglima? Jika belum , sampai kapan kita bisa menunggu?

Setelah sepuluh tahun bergelut dalam dunia pendidikan, berinteraksi dengan berbagai komunitas pendidikan seperti siswa, guru orangtua siswa, birokrat pendidikan dan tokoh-tokoh pendidikan, penulis mencatat hal-hal yang kiranya relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Diantaranya adalah begitu rendahnya tingkat kesadaran para pelaku pendidikan itu sendiri, rendahnya kesadaran dari pemerintah dan rendahnya kesadaran dari masyarakat. Padahal, menurut hemat penulis, ketiga unsur yang disebutkan tadi merupakan pilar utama yang bisa menentukan baik buruknya mutu pendidikan di Tanah Air.

Kesadaran Pelaku Pendidikan

Dalam setiap proses pendidikan baik formal maupun nonformal, unsur pembelajaran tentulah menjadi bagian yang amat penting. Dalam prakteknya, pembelajaran selalu melibatkan siswa yang diajar dan guru yang mengajar. Seorang siswa tentu saja memiliki orangtua ataupun walinya dan sebagai guru tentu memiliki pimpinan di sekolahnya. Kerap sekali kita temukan fakta bahwa berbagai unsur atau pihak-pihak yang disebutkan tadi memiliki tingkat kesadaran yang masih rendah akan pentingnya makna pendidikan. Seorang siswa sering mereduksi arti pendidikan hanya sebatas pergi ke sekolah setiap hari, mengerjakan tugas yang diberikan guru dan akhirnya bisa lulus dengan mendapat nilai yang alakadarnya. Seorang guru juga mereduksi arti pendidikan hanya sebatas mengajar siswa setiap hari dan memberikan nilai pada siswanya tanpa harus berpikir apakah ia sudah mengajar dengan baik dan benar? Apakah sebagai guru ia sudah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan siswanya di masa yang akan datang?Kerap pula kita dengar tentang pimpinan sekolah atau lembaga pendidikan yang justru menjadi penghambat proses peningkatan mutu pendidikan. Bahkan menurut seorang tokoh pendidikan, ada seorang guru dan seorang guru besar yang justru bertindak kontra terhadap kebijakan yang berpihak pada pendidikan.

Pun, dengan orangtua siswa yang tak mau ketinggalan dengan mereduksi arti pendidikan sebatas menitipkan anaknya ke pihak sekolah, membayar biaya sesuai aturan dan hanya berharap anaknya bisa lulus dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa pernah berfikir bahwa mendidik anak adalah hal yang penting tidak saja bagi si anak tapi juga bagi proses kemajuan masyarakat secara luas. Orangtua tidak boleh berpikir mendidik atau menyekolahkan anak semata-mata hanya kebiasaan karena masyarakat umum yang menginginkan anaknya sukses memang melakukan hal itu. Dari paparan tadi tergambarkan begitu dangkalnya kesadaran para pelaku pendidikan akan arti penting pendidikan itu sendiri. Bukankah ini sebah ironi?

Kesadaran Pemerintah

Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan, seyogyanya menjadi mesin penggerak utama kemajuan pendidikan. Realitanya, alih-alih menjadi mesin penggerak, melaksanakan kebijakan atau aturan yang dibuatnya sendiri saja sangat berat jika itu menyangkut persoalan pendidikan. Baru saja merasakan semilir angin surga dengan dimasukkannya pasal dalam Undang-Undang Dasar bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20% dalam APBN/APBD, masyarakat dikagetkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan anggaran 20% itu harus memasukan ‘item’ gaji guru.

Intinya, keluarnya putusan MK tersebut mengurangi porsi anggaran pendidikan sebesar kira-kira 8%. Meski dengan perhitungan itupun, tetap saja pemerintah baru bisa mengalokasikan 18% anggaran untuk pendidikan. Entah apa yang dipikirkan pemerintah, bukannya memanfaatkan para ahli untuk mencari jalan keluar yang kreatif agar bisa memenuhi amanat Undang-Undang Dasar yang menganggarkan 20% sektor pendidikan, tapi malah berkompromi mengeluarkan kebijakan yang justru kontra terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Mungkin mereka merasa rugi menggelontorkan anggaran sebesar 20% itu meski itu sebenarnya uang rakyat dan bukan uang pribadi mereka.

Sudah seharusnya hak itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan pendidikan murah dan berkualitas. Sudah seharusnya para pembuat kebijakan itu sadar, memajukan pendidikan berarti memajukan kualitas sumber daya manusia. Memajukan pendidikan berarti membangun peradaban dan anak cucunya nanti yang akan merasakan seperti apa peradaban masyarakat kita nanti, itu sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan yang mereka ambil saat ini. Mengapa begitu sulit menggelontorkan anggaran yang hanya 20% itu, bukankah masih ada 80% alokasi anggaran untuk dibagikan pada sektor-sektor yang lain?

Kesadaran Masyarakat

Jika masyarakat itu diartikan sebagai orang kebanyakan, individu-individu yang berbeda yang memiliki pandangan dan karakteristik berbeda pula, maka ini menjadi kelompok terbesar yang menghuni Indonesia. Artinya, jika masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi kemajuan bangsanya, maka tak akan kita dengar berita tentang sekolah roboh, guru yang terpaksa ngojek, atau anak usia sekolah yang terpaksa mengamen di lampu-lampu merah. Pernahkan terpikir dibenak kita jika separuh saja dari jumlah penduduk Indonesia yang memberikan uangnya sebesar Rp 1000,- dan itu diperuntukkan bagi pendidikan, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 100 milyar. Sebuah nilai yang begitu bermakna jika dikelola benar-benar untuk peningktan mutu pendidikan.

Namun, berharap seperti itu seolah kita bermimpi, karena penulis pernah mendengar keluhan seorang teman yang mengatakan betapa sulitnya memasarkan media yang khusus berisi informasi tentang pendidikan. Begitu banyak kendala yang dihadapi ketika ingin mengajak para birokrat untuk bekerjasama mengembangkan idealisme dunia pendidikan, sedikit sekali guru yang berminat membeli, dapat dihitung dengan jari pejabat yang memberikan apresiasi dan sebagian besar masyarakat lebih suka membeli media yang berisi gosip atau yang memamerkan kemolekan tubuh wanita ketimbang membeli media pendidikan. Bukankah ini sebuah indikasi bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah ? Wallahu’alam.Wawan Kurniawan

Penulis adalah seorang guru, tinggal di Bogor.

Tidak ada komentar: